Thursday, 19 July 2012

Buruh Migran Rentan Tertular HIV/AIDS

http://www.aidsindonesia.or.id/buruh-migran-rentan-tertular-hivaids.html



Kamis, 5 Juli 2012

KBR68H - Buruh migran  rentan tertular virus HIV/Aids. Minimnya pengetahuan TKI dan perilaku seks tak aman diantara  faktor  pemicu penyebaran penyakit mematikan itu.  Situasi ini diperparah dengan belum maksimalnya perlindungan dan pendampingan kepada mereka yang positif HIV/Aids. Akibatnya beberapa ODHA, mesti meregang nyawa. Belum lagi diskriminasi terkait pekerjaan yang mesti mereka terima.
Sore itu, Saturi dan Yuni tengah berkemas. Saat ditemui KBR68H kedua Tenaga Kerja Indonesia tersebut, siap  terbang dari  Jakarta menuju Abu Dhabi, Arab Saudi. Di sana mereka akan  mencari peruntungan, mengais  rezeki untuk keluarga. Sambil menutup risleting tasnya, perempuan tiga puluh tahunan itu  menunjukan barang bawaannya. “Bawa baju doang, sama (buku) Yasin, buku agenda dan mukena. Bawaan Yuni juga hampir sama. Itu saja,” tuturnya.
Keduanya  mencari nafkah di negeri orang untuk menafkahi keluarga mereka. “Mau cari uang buat sesuatu yag baru,” kata Yuni. “Kalau aku untuk bayar anak sekolah. Anakku empat. Dulu saya jualan nasi. Sekarang saya tidak kerja. Sementara suami, bekerja di tambang emas. Tapi sekarang sudah tutup. Sekarang tidak ada penghasilan,” imbuh Saturi.
Sebelum berangkat, sejumlah pelatihan terkait pekerjaan dan penyuluhan kesehatan  sudah mereka terima. Baik dari Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia(PJTKI) sampai Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Formulir permintaan tes HIV dari negara penerima pekerja migranFormulir permintaan tes HIV dari negara penerima pekerja migran
Bagaimana pemahaman mereka tentang HIV/Aids? “KBR68H: Ada pembelajaran tentang kesehatan?   Saturi: Penyakit aids. Jangan bermain seksual.  KBR68H: Berapa lama? Saturi: Dari jam 3-4. Bedanya HIV dan AIDS? Lupa.  Orang kena HIV bisa kerja? Tidak. Gelas yang dipakai bersama bisa menularkan? Nggak, eh, Bisa, makanya perlu direndam dengan air panas dulu.”
Mitos HIV/Aids
Benarkah pemahaman mereka tentang  virus mematikan tersebut?  Kelompok Kerja Komisi Penanggulangan AIDS untuk Pekerja Migran, Pandu Riono menjawab:  Tidak !  “HIV menular melalui gelas yang sama? Salah. Jika terkena hiv tak bisa bekerja, apakah itu benar? Salah, itu juga mitos, HIV mati juga salah. Minimal mereka harus tahu, gak bisa satu atau dua jam. Mungkin seharian, diberi penjelasan dan diskusi yang cukup lebar. Cerita-cerita sederhana, bukan hanya teori,”jelas Pandu.
Pemahaman yang minim seputar HIV/Aids, membuat para pahlawan devisa itu  rentan terpapar virus,  saat  mereka bekerja di negeri orang.
Hubungan seks yang tidak aman kata  Kepala BNP2TKI  Jumhur Hidayat, salah satu pemicunya. “Lebih banyak yang terkena HIV di luar negeri. Terutama laki-laki. Setelah bekerja, pulang dan diperiksa, ada yang terkena HIV. Ada istilah 4 M:  Man, Mobile, Macho with Money. Laki-laki, berpindah, jantan, punya hasrat yang kuat terhadap perempuan, with money, punya uang juga,” katanya seraya tersenyum.
Kepala BNP2TKI Jumhur HidayatKepala BNP2TKI Jumhur Hidayat
BNP2TKI  mengaku belum memiliki data pasti berapa TKI  yang  positif  HIV/Aids.  “Klinik atau pemeriksaan kesehatan tidak sepenuhnya memberikan data itu. Justru mereka tidak melaporkan secara rinci angka-angkanya. Karena masih ada semacam ketakutan atau tabu memberi laporan tentang HIV ini,” tambahnya.
Sekadar gambaran saja  di Jawa Tengah kasus TKI yang  terpapar virus HIV/Aids mencapai lebih dari 140 kasus.  Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah Anung Sugihantono “Menurut laporan BP3TKI pada saat bertemu dengan kami bersama salah satu LSM. Dari sekitar 105 ribuan TKI kita yang hand out pada 2011 itu ditemukan 145 yang positif HIV/AIDS, ini yang harus kita pahami sebagai satu warning untuk kita semua melakukan sesuatu,” jelasnya.
Yang tercatat di Jawa Timur lebih mengerikan. Pada tahun lalu saja, 320 pekerja migran asal provinsi itu  terpapar  HIV. Sementara  LSM Caring for Migrant Workers, melaporkan sejak 2010 mereka menerima lebih dari 50 kasus AIDS. Mereka adalah pekerja migran  yang terdeportasi dari negeri jiran Malaysia.
Tes Kesehatan
Sejumlah upaya untuk mengerem pertumbuhan kasus HIV/Aids digelar. Misalnya dilakukan tes kesehatan. KBR68H mengunjungi sebuah klinik kesehatan di  Jakarta.Puluhan calon pekerja migrant tengah antri  memeriksa kesehatan.  Salah satunya adalah Iwan. Bekas nelayan asal Cirebon, Jawa Barat ini akan bekerja di Taiwan. “Mau cek kesehatan buang air besar, kencing, ambil darah juga. Penyakit apa saja yang mau dicek? Penyakit apa aja. Pernah dikasih tau kalau di sini ada tes HIV juga? Nggak tahu. Baru kali ini,” akunya.
Direktur Amalia Medical Center Zainal MuhammadDirektur Amalia Medical Center Zainal Muhammad
Tampaknya Iwan kurang memperhatikan, dalam formulir pemeriksaan yang telah ia tanda tangani, terdapat surat pernyataan, “Saya mengizinkan pemeriksaan HIV atas diri saya”. Padahal, menurut standar Badan Kesehatan Dunia, tes HIV mesti sukarela dan melalui proses konseling. Hasilnyapun hanya boleh diketahui pasien.
Desakan negara-negara penerima pekerja migran menjadi alasan tes paksa ini. Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat menjelaskan, “Pemeriksaan itu diberitahukan Fit atau unfit aja. Tidak diberitahukan pada yang bersangkutan dia terkena HIV. Karena tenaga kerja mesnyaratkan tenaga kerja yang ke luar negeri harus diperiksa HIV. Itu keinginan mereka utuk diperiksa ke luar negeri. Sehingga tidak ada yang dilanggar karena ini rahasia. Sehingga mereka tidak membuka data.”
Namun kewajiban tes HIV ini ditentang berbagai kalangan, salah satunya Organisasi Buruh Internasional (ILO). Petugas Program Hiv dan Aids ILO, Risya Ariyani Kori berpendapat, tes kesehatan itu akan memicu  diskriminasi pekerjaan para  pekerja yang positif HIV/Aids. Sumber dari masalah ini kata  Risya  ada di Undang-Undang  tentang TKI.  “Undang-undang sendiri yang paling pasti, mereka mengharuskan pemeriksaan kesehatan, termasuk HIV dan AIDS. Dan kita tahu sekali mandatori testing ini sangat rentan membuat buruh migrant terdiskriminasi. Bukannya ini malah membantu, dan ILO sama sekali tidak mendukung itu,” ungkapnya.
Minim Pendampingan
KBR68H menemui bekas pekerja migran Baby Rivona. Kini ia menjadi Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia. Baby  dideportasi dari Malaysia karena terkena HIV pada 2002. “Karena satu tahun kemudian setelah saya berangkat, saya harus memperpanjang visa kerja. Kontrak dua tahun, memperpanjang visa kerja satu tahun sekali. Maka, saya meakukan medical tes lagi di Malaysia. Apakah itu kewajiban? Di beberapa negara iya. Saya langsung dipulangkan karena itu menjadi kebijakan mereka. Tidak boleh ada pekerja yang HIV positif,” ungkapnya.
Ketua IPPI Baby Rivona,(Foto sumber Radar Lampung)Ketua IPPI Baby Rivona,(Foto sumber Radar Lampung)
“Saya kehilangan pekerjaan saya. Padahal saya belum habis kontrak.Masih ada satu tahun lagi kontrak saya. Yang disayangkan lagi saya belum terima duit banyak juga karena dipotong gaji selama beberapa bulan. Jadi betul-betul apes. Dan setelah pulang juga, saya tidak tahu mesti ngapain,” tuturnya.
Analis Kebijakan LSM Migrant Care Wahyu Susilo membenarkan para pekerja migrant rentan tertular virus HIV/Aids. “Buruh migran kita yang berada di luar negeri terjebak dalam sindikat perdagangan manusia. Apalagi mereka terjebak sebagai perempuan yang dilacurkan. Itu yang menurut saya kelompok yang paling rentan,” jelasnya.
Sebut saja namanya Mei-Mei, ia salah seorang korban perdagangan manusia. Mengaku sempat dijual mucikari ke Malaysia.  Namun ia  berhasil kabur.
Didampingi sebuah lembaga swadaya masyarakat, perempuan ini melakukan tes HIV. Hasilnya positif. Untunglah ia mendapat pendampingan informasi dari lembaga non pemerintah. “Belum, Cuma  saya masih ingat, pendamping saya waktu itu, mbak Ika, yang mengantar saya pulang sampai Semarang, dipertemukan oleh koordinator kelompok dukungan sebaya di Salatiga. Akses berikutnya saya mencari informasi ya dari kelompok dukungan sebaya di salatiga itu,” kata Mei-Mei.
Analis kebijakan Migran Care, Wahyu SusiloAnalis kebijakan Migran Care, Wahyu Susilo
Tak semua TKI  yang terkena virus HIV/Aids  beruntung seperti Mei-Mei. Akibat tak ada pendampingan kesehatan, tak jarang di antara mereka mesti meregang nyawa. Bahkan banyak pekerja migrant yang baru terdeteksi terkena aids, setelah meninggal . Kembali Wahyu Susilo, “Biasanya yang kita sering kordinasi dengan teman-teman, ada kasus pada HIV/Aids ditemukan kebanyakan saat meninggal dunia. Saya kira kuncinya pada minimnya informasi mengenai perlunya seseorang yang dari mobilitas yang jauh memeriksakan kesehatan. Terutama pada buruh migran.”
Kondisi ini diperparah dengan posedur penanganan kasus HIV/Aids  di kalangan pekerja migrant yang tidak jelas.  Hal itu dibenarkan Direktur Amalia Medical Center Zainal Muhammad. “Kita tetap mengikuti standar, dalam arti kita memberikan unfit, dalam arti tidak layak, untuk bekerja di luar negeri, tanpa sebab. Nah, sebabnya itu sendiri hanya bisa dia tanya melakui lisan. 15% tadi tidak semuanya mempertanyakan. Katakanlah 5%. Biasanya dia pulang begitu saja karena merasa diri. Kasusnya hiv di sini mungkin bisa 1 di antara seribu orang,” jelasnya.
Zainal menambahkan,”Dari mereka asalnya harus diberikan oleh pemerintah. Sehingga kalau kedapatan suspect tadi dengan pemeriksaan detail lebih lanjut, mau diapakan? Apakah orang ini dimasukan ke dalam, semacam diawasi? Diobati? Direkomendasikan dibawa ke mana-kemana sampai sekarang belum ada? Kalo ada sosialisasi diperlukan.”
Sistem Kesehatan Terpadu
Kelompok Kerja Pekerja Migrant dari Komisi Penanggulangan AIDS Pandu Riono melacak, akar penyebab karut-marutnya persoalan ini akibat tidak adanya  sistem penanganan kesehatan yang terpadu. “Kalau mereka melakukan koordinasi dengan benar, tahu apa yang dilakukan, ya, karena uang banyak karena uang banyak mereka melupakan fungsi-fungsi dasar. Hasil eksternal review dari WHO di Indonesia ada dualisme penanganan HIV/Aids. Yang satu dipimpin KPA yang satu dipimpin Kemenkes. Dan ini saling bertolak belakang, sehingga tidak terjadi koordinasi,” kata Pandu.
Peluang untuk mengatasi masalah ini terbuka, pasca DPR meratifikasi konvensi Organisasi Pekerja Internasional .  Upaya itu mesti diimbangi lewat  revisi Undang-Undang  TKI, kata  Ketua Panitia Kerja UU itu, Irgan Chairul Mahfiz. “Bukan hanya persoalan kesehatan saja yang kita masukan, seluruh hak-hak normatif buruh harus mendapat perhatian. Peningkatan kesejahteraan dan perlindungannya harus jadi perhatian. Jadi ratifikasi konvesi ilu ini dalam rangka pemenuhan hak-hak normatif.”
Langkah lainnya dengan membentuk badan baru. “Kalau BNP2TKI itu kan badan nasional penempatan dan perlindungan. Kita ingin badan perlindungan. Perlindungan yang kita kedepankan. Ini rekomendasi dpr ke pemerintah kita ingin badan yang tidak tumpang tindih dengan Kementerian Tenaga kerja dan transmigrasi,” imbuh Irgan.
Namun sejumlah langkah di atas kertas itu kata  bekas pekerja migran yang terpapar virus HIV/Aids Baby Rivona akan sia-sia, jika praktik diskriminasi masih mereka terima.  KBR68H: Anda merasa ada hak-hak anda yang terlanggar? Pasti, karena saya merasa saya orang sehat dan tidak boleh bekerja. Kenapa saya tidak boleh bekerja? Hanya karena penyakit ini. Hingga saat ini, kita berjuang keras agar bisa orang HIV bisa kembali bekerja ke luar negeri, tapi tetap saja tak bisa, karena kebijakan negara itu tidak mengizinkan,” katanya lirih. (Gur|Fik)



Monday, 30 May 2011

Kasus HIV/AIDS pada Ibu Rumah Tangga Terus Meningkat

http://health.kompas.com/index.php/read/2011/05/31/06031498/Kasus.HIVAIDS.pada.Ibu.Rumah.Tangga.Terus.Meningkat
Lusia Kus Anna | Selasa, 31 Mei 2011 | 06:03 WIB



Merauke, Kompas - Pengidap HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga di Merauke, Provinsi Papua, terus meningkat. Bulan Januari hingga April 2011, dari 33 kasus baru pengidap HIV/AIDS, 10 di antaranya ibu rumah tangga.
Sekretaris Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Merauke Henny Astuti Suparman, Senin (30/5), menuturkan bahwa risiko tertinggi tertular kini tidak lagi pada kelompok pekerja seks, tetapi beralih ke kelompok ibu rumah tangga. ”Sumber penularan dari hubungan seksual,” kata Henny di Merauke.
Berdasarkan data KPA Merauke, jumlah pengidap HIV/AIDS di Merauke hingga bulan Maret 2011 ada 1.283 orang. Dari jumlah tersebut, 630 laki-laki dan 607 perempuan. Sisanya tidak diketahui.
Dari jumlah tersebut, 196 orang adalah pekerja seks, 168 petani, dan 165 (12,86 persen) ibu rumah tangga. Jumlah ibu rumah tangga pengidap HIV/AIDS meningkat dibandingkan dengan data bulan Desember 2010 sebanyak 158 orang (12,57 persen).
”Bulan April 2011, kami temukan lagi tiga ibu rumah tangga positif HIV/AIDS,” kata Henny.
Menurut dia, 3 dari 10 ibu rumah tangga pengidap HIV/AIDS tahun 2011 sedang hamil. Diduga mereka tertular dari suami. ”Setelah diperiksa, ternyata suaminya positif. Namun ada juga suami tak mau dites,” katanya.
Ironisnya, ada ibu hamil yang positif HIV/AIDS tak mau mendapat pengobatan antiretroviral (ARV). ”Dia merasa sehat dan baik-baik saja sehingga merasa tidak butuh ARV ataupun pendampingan,” kata Henny.
Di Kabupaten Asmat, penyebaran HIV/AIDS juga cepat. Pada tahun 2006 tercatat satu orang terinfeksi. Sementara tahun 2010 ditemukan ada 41 orang yang terinfeksi. (RWN)

Saturday, 21 May 2011

HIV/AIDS Infections Jump Sharply in Papua

http://www.aidsindonesia.or.id/hivaids-infections-jump-sharply-in-papua-the-jakarta-globe.html
The Jakarta Globe


Jayapura. The number of people living with HIV/AIDS in Papua and West Papua has jumped by more than 30 percent to over 17,000 in just four months, an official said on Thursday.

Kostan Karma, head of the Papua AIDS Prevention Commission (KPA), said the spike in infections was very worrying, and blamed it on the prevalence of unprotected sex. 

He said the latest data from the provincial health office showed there were 7,098 people with the virus in Papua in December, and 10,000 in West Papua. “But back in August 2010, there were only 5,000 in Papua and 8,000 in West Papua,” he said.

“ The KPA is trying hard to campaign about HIV/AIDS prevention, but we just can’t seem to keep the numbers down.”

Kostan said that of the 38 towns and districts in the two provinces, Mimika in Papua, home to the world’s biggest copper and gold mine, had shown the highest increase and overall number of infections. However, he did not give any figures.

The KPA also blamed the proliferation of new districts over the past 10 years as a factor for the spread of the virus.

“What’s happened is that there’s been more money spreading around, which encourages people to break with the traditional way of life and adopt a more modern lifestyle, including sexual promiscuity,” Kostan said.

“What we’re trying to do is get churches to spread the message to get people to stop having casual sex, or if they must, to at least use a condom.”

He said that if the number of people living with the virus rose to 1 percent of the population of both provinces — which the 2010 census put at 2.8 million — the KPA would begin imposing mandatory testing for all new mothers in the region.

He said the measure would at least help identify the number of infected newborns, so they could get early treatment.

Thursday, 12 May 2011

Inilah 'Obat Super' Penakluk HIV & Malaria

Headline

http://teknologi.inilah.com/read/detail/1503892/inilah-obat-super-penakluk-hiv-malaria

Oleh: Billy A Banggawan
Teknologi - Kamis, 12 Mei 2011 | 09:47 WIB

INILAH.COM, Jakarta – Virus penyebab AIDS, HIV, membunuh dua juta manusia tiap tahun di dunia. Parasit yang disebarkan nyamuk, malaria, menginfeksi 225 juta manusia dan membunuh 781 ribu tiap tahun.
Penyakit-penyakit ini menyerang manusia sejak pertama kali menyebar ke manusia dari monyet 40 tahun lalu. Di kemudian hari, penyakit-penyakit ini menjadi musuh bebuyutan manusia dan tubuh manusia telah berevolusi untuk memeranginya.
Kedua pembunuh ini, baru dan lama, sebenarnya memiliki molekul yang sama. Karena hal ini, satu ‘obat super’ akan bisa melawan penyakit-penyakit tersebut. Obat itu adalah, HIV Protease Inhibitor (HIV PI). Obat ini dirancang khusus ilmuwan untuk mengobati HIV dengan mencegah virus mematikan itu membangun proteinnya dengan benar.
“HIV PI saat ini sedang digunakan secara klinis dan merupakan obat HIV terkemuka,” kata Kepala Laboratorium Parasitologi Kedokteran Photini Sinnis di Langone NYU Medical Center. Obat ini telah mengubah wajah pengobatan HIV beberapa tahun terakhir. Orang yang mengonsumsi obat ini tak lagi mati karena AIDS.
Protease merupakan enzim-enzim yang bisa memotong protein menjadi bentuk yang benar, hal ini memungkinkannya menjadi aktif. HIV PI menghentikan virus HIV di treknya dengan cara mencegah salah satu enzim protease melakukan pekerjaannya.
Tanpa kerja protease, protein HIV tak akan terpotong dan tidak aktif. Alhasil, unit HIV yang disebut virion tak dapat mengumpulkannya untuk membuat virion baru. Tubuh manusia memiliki mekanisme alami membunuh virion HIV untuk mencegah virus mereplikasi diri pada tingkat yang tak dapat ditangani tubuh.
Selama beberapa tahun terakhir, beberapa kelompok penelitian (termasuk kelompok Sinnis) telah menyadari efek samping positif yang mengejutkan dari HIV PI spesifik. “Kami menemukan, obat ini memiliki sifat anti-malaria,” kata Sinnis.
Para peneliti yakin, HIV PI menghentikan munculnya protease dalam parasit malaria seperti yang mereka lakukan pada protease HIV. Kelompok Sinnis menemukan, obat anti-HIV ini mencegah parasit bereplikasi pada tikus.
Belum ada percobaan pada manusia namun hasil awal pada tikus membuat peneliti HIV menganjurkan penggunaan eksklusif PI untuk pengobatan HIV di Afrika. “Di Afrika, HIV dan malaria banyak yang tumpang tindih, obat-obatan HIV yang digunakan harus PI,” kata Sinnis.
Setelah itu, obat ini akan memberi manfaat tambahan pada infeksi malaria yang ada, yakni dengan menghambatnya. Saat ini, PI hanya berguna untuk memerangi malaria pada orang yang memiliki HIV. PI lebih beracun dibanding banyak obat yang digunakan untuk memerangi malaria itu sendiri.
Namun, jika PI dapat disesuaikan menjadi kurang beracun, obat ini bisa menjadi obat tunggal malaria. Ketika hal itu terjadi, obat ini akan menjadi senjata. Pasalnya, malaria sendiri dengan cepat mengembangkan kekebalan pada obat anti-malaria yang ada, jadi obat baru selalu sangat dibutuhkan.
Meski begitu, untuk mengembangkan obat anti-malaria yang bisa berdiri sendiri didasarkan pada obat anti-HIV, protease spesifik dalam malaria yang menjadi target HIV PI pertama harus ditemukan. “Jika kita bisa menemukan target protease, kita bisa merancang obat yang lebih baik dan tentunya tanpa racun,” kata Sinnis.
Sejauh ini, ilmuwan telah mempersempit kelas protease yang mungkin mengandung protease target namun mereka belum menemukan satu protease spesifik. Namun, sebuah makalah di Journal of the Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB), Colin Berry dan rekan di Cardiff University di Wales menemukan protease yang dihambat HIV PI dalam parasit Leishmania, kerabat malaria.
Meski protease yang disebut Ddi 1 ini belum diidentifikasi dalam malaria, kelompok Berry dan yakin protease inilah yang dicari-cari. “Hasil penelitian kami menunjukkan, protein Ddi1 merupaka target HIV (PI), dan menunjukkan Ddi1 Leishmania sebagai target potensial terapi antiparasit,” Berry.
“Melalui identifikasi protein ini, kami berharap bisa mengeksploitasi kelemahan parasit ini untuk mengembangkan terapi baru yang efektif memerangi penyakit-penyakit yang berbahaya,” lanjutnya.
Menurut Sinnis, makalah Berry memberi harapan dan ide-ide dalam menemukan target parasit malaria. Ketika ditemukan, obat anti-HIV sekaligus anti-malaria dapat dikerjakan. [mdr]

Ditemukan, Antibodi Mampu Lawan Virus HIV

http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2011/05/11/4042/9/Ditemukan-Antibodi-Mampu-Lawan-Virus-HIV
Rabu, 11 Mei 2011 16:00 WIB

Penulis : Prita Daneswarim
PENELITIAN terbaru yang digelar Universitas Melbourne berhasil mengungkap imunitas terhadap HIV. Mereka kemudian mengembangkan vaksin untuk membangun antibodi melawan virus tersebut. 
Ditemukan Antibodi Mampu Lawan Virus HIV

Dengan menganalisis peran antibodi manusia bernama ADCC pada pasien HIV, peneliti mampu mengidentifikasi keterlibatan virus dengan antibodi.

Profesor Stephen Kent dan salah seorang koleganya menyebutkan, "Antibodi ADCC memiliki implikasi kuat dalam perlindungan terhadap HIV dalam beberapa uji coba vaksin, tapi peran mereka memang belum dipahami secara pasti."

"Hasil penelitian ini menunjukkan virus HIV sangatlah mudah berpindah tempat, tapi terbukti pula antibodi ADCC mampu mencegah virus tersebut berkembang lebih cepat dan membuatnya lebih lemah," kata Kent.

Tampak pula, antibodi ADCC yang bagus bisa benar-benar digunakan untuk melawan infeksi melalui vaksin dan menghentikannya. Hasil penelitian ini telah diterbitkan pada jurnal PNAS edisi Mei 2011.(Pri) (Pri/OL-06) 

Tuesday, 1 December 2009

Kisah Nyata dan Fakta Tentang HIV-AIDS di Indonesia, Menghitung Hari

http://ruanghati.com/2009/11/30/kisah-nyata-dan-fakta-tentang-hiv-aids-di-indonesia-menghitung-hari/

2009 November 30

by ruanghatiberbagi


Dalam sebuah rumah berdinding semen dan berkamar tiga di Sorong, Papua Barat, impian Angelina pun perlahan memudar. Dulu ia pernah bercita-cita untuk menjadi seorang polisi wanita “karena saya melihat mereka membantu dan melindungi orang.”


"penderita aids"

Namun sudah lama impian itu sirna. Pada Juni 2002, suaminya yang bekerja sebagai ahli mekanik meninggal. Enam bulan kemudian bayi perempuan pertamanya pun juga meninggal. Baru pada bulan Oktober ia tahu penyebabnya. Belum juga hilang kesedihannya, perempuan 21 tahun itu diberitahu bahwa ia terinfeksi HIV. Kemungkinan besar suaminya terjangkit virus itu dari pekerja seks.


Angelina hanya salah satu korban yang polos dan tidak tahu menahu tentang HIV di Indonesia. Ia hanya orang biasa yang bahkan tidak pernah melakukan tindakan beresiko tetapi tertular oleh orang yang berkelakuan tidak baik. Tentu saja banyak perhatian tercurah pada penyebaran HIV/AIDS di antara kelompok-kelompok yang beresiko. Tapi UNICEF justru memfokuskan pada anak muda dalam upayanya mencegah penularan virus ke masyarakat luas.


Sebagian besar anak muda Indonesia tidak tahu mengenai HIV/AIDS dan penyebarannya. Hanya sedikit yang mendapat informasi yang tepat tentang penyakit itu. Dalam satu penelitian, hanya satu dari tiga pelajar sekolah menengah atas di Jakarta yang tahu persis cara pencegahan penularan virus secara seksual.


Penderita AIDS yang sudah tinggal menghitung hari, nikmat sesaat namun akibatnya sangat mengenaskan

Penderita AIDS yang sudah tinggal menghitung hari, nikmat sesaat 
namun akibatnya sangat mengenaskan

Kurangnya pengetahuan ini menjadi sebuah bom waktu di daerah-daerah seperti Papua. Di sana anak muda mulai aktif secara seksual pada awal masa pubertas. Dengan memberikan pelatihan pada guru-guru sekolah menengah atas di Papua tentang ketrampilan hidup dan HIV/AIDS, UNICEF berharap generasi muda di Papua akan memahami konsekuensi dari seks yang tidak aman.

Menyangkut pendidikan sebagai satu pilar strategi lima tahun HIV/AIDS, pemerintah Indonesia tetap berjalan di tempat. Karena itu UNICEF mencoba langkah berbeda dengan menyentuh langsung pelajar sekolah menengah atas.

“Saat kita berada di sekolah, kita mengkombinasikan strategi pendidikan ketrampilan hidup dan pendidikan sebaya untuk mencegah penularan HIV dan penyalahgunaan obat-obatan. Strategi itu pada dasarnya dirancang untuk memberikan kaum muda ketrampilan komunikasi antar pribadi, kreatifitas, kepercayaan diri, harga diri dan daya pikir kritis. Ini perlu untuk membantu mereka jika menghadapi kesempatan untuk mencoba obat-obatan atau melakukan seks yang tidak aman,” kata Rachel Odede, kepala unit HIV/AIDS UNICEF Indonesia.

Hambatan utama untuk pendidikan orang Indonesia adalah keyakinan bahwa penyakit ini hanya menjangkiti “orang tidak baik” dan memang mereka layak mendapatkannya. Orang yang terinfeksi HIV/AIDS pun diberi stigma dan dipaksa pergi dari kampung halaman mereka. Mereka ditolak berobat ke dokter, diancam, dijauhi dan disingkirkan. Ketakutan dan stigma semacam itulah yang membuat para tetangga dan bahkan anggota keluarga Angelina tidak tahu sama sekali penyakitnya.

“Saya anggota aktif di gereja. Saya tidak ingin orang melihat ke saya dan berkata ‘Lihat, orang itu putrinya sakit’”, kata Yakobus, ayahnya. Ia seorang guru sekolah dasar yang mengambil pensiun dini untuk merawat putri bungsunya itu.

Meski orang Indonesia yang sekuler telah mengenal program keluarga berencana dengan slogan ‘dua anak cukup’, pembicaraan mengenai seks masih dianggap tabu oleh sebagian penduduk yang sebagian besar Muslim dan konservatif ini. Saat ini epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada tingkat penularan HIV yang masih rendah pada penduduk secara umum. Namun pada populasi tertentu, tingkat penularannya cukup tinggi, yaitu di antara para pekerja seks komersil dan pengguna jarum suntik yang kian meningkat.
Seperti halnya Vietnam dan China, epidemi HIV/AIDS di Indonesia masih digolongkan baru timbul. Para pakar memperkirakan ada sekitar 90.000 sampai 130.000 orang Indonesia yang terjangkit HIV. Tapi UNICEF yakin angka ini akan bertambah jika tidak ada perubahan perilaku populasi yang beresiko dan menjadi perantara.

Tidak sulit melihat gambaran penularan ini di masyarakat umum. Diperkirakan ada 7 sampai 10 juta laki-laki Indonesia mengunjungi pelacuran tiap tahunnya. Mereka biasanya enggan menggunakan kondom. Diperkirakan juga ribuan perempuan telah terinfeksi secara seksual oleh laki-laki yang menyuntikkan obat-obatan.

"hiv aids"

“Pada tahun-tahun setelah krisis moneter, kami melihat makin banyak orang muda pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Tampak pula terjadi peningkatan jumlah pekerja seks dan pengguna jarum suntik (IDU),” kata Dr Barakbah, kepala unit penyakit menular Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya. “Kita akan melihat lonjakan kasus AIDS dalam beberapa tahun mendatang. Kita juga melihat pertumbuhan eksponensial pada kasus-kasus HIV yang dilaporkan, terutama yang berasal dari tempat pelacuran. Penyebarannya sedang memasuki tahap ketiga, yang mengarah ke AIDS. Kami melihat makin banyak pasien,” tambahnya.

Untuk mengetahui bagaimana skenario ini terkuak, lihatlah kisah pekerja seks berusia 16 tahun, Reena (bukan nama sebenarnya). Ia beroperasi di Surabaya, daerah seks terbesar di Asia. Ia terinfeksi HIV positif dan ia tidak tahu. Ia pun tetap melayani tamunya sampai 12 orang tiap minggunya. Tak satupun para pelanggannya dan beberapa ‘pacarnya’ itu yang menggunakan kondom.

Orang-orang tersebut adalah di antara 2.000 lebih pelaut yang singgah setiap minggunya di Surabaya, ibu kota Jawa Timur yang juga pusat pengiriman barang antara Jawa, Sulawesi, dan kepulauan bagian timur Indonesia.

Orang dari seluruh penjuru Nusantara menjuluki Surabaya dengan istilah ‘tiga M’ dalam kaitannya dengan penularan HIV/AIDS, yaitu “Men (laki-laki), Money (uang ) dan Mobility (mobilitas)”.

Saat ini instansi-instansi makin menaruh perhatian terhadap cepatnya penularan HIV/AIDS terhadap generasi muda Indonesia yang menggunakan jarum suntik. Sebagian besar dari mereka berumur dua puluhan dan aktif secara seksual.

Di beberapa daerah di Jakarta, diperkirakan 90 persen pengguna terkena HIV positif. Beberapa tahun lalu, demografi para pengguna obat-obatan mulai meningkat karena jatuhnya harga heroin dan para ahli kimia Indonesia mulai membuat shabu-shabu dalam jumlah besar (bahkan cukup untuk menjadi eksporter obat bius).

Seperti halnya di Thailand, penggunaan obat-obatan menarik para orang miskin di kota di Indonesia. Merekalah kelompok yang sulit diberi pengertian mengenai jarum suntik pribadi dan bersih.

Untuk mendorong kaum muda untuk memanfaatkan layanan pengujian dan konseling, UNICEF memberi dukungan teknis dan finansial kepada beberapa lembaga swadaya masyarakat untuk membantu generasi muda putus sekolah yang rentan terhadap penyalahgunaan obat dan eksploitasi seks.

Tapi lembaga-lembaga ini tidak bisa berjuang sendirian. Untuk memberi pemahaman ke masyarakat yang lebih luas, mereka butuh dukungan dan sumber-sumber dari pemerintah pusat dan daerah. Sayangnya, instansi pemerintah enggan untuk memimpin gerakan ini karena penyakit itu dianggap sebagai akibat dari ‘tindakan amoral’.

Beberapa langkah baru telah diambil. Para gubernur dari daerah-daerah yang penularannya parah bersedia menandatangani perjanjian dan bersumpah untuk memusatkan segala sumber mereka untuk kemajuan penyuluhan mengenai penyakit itu. Tapi rupanya masih terlalu banyak hal yang harus dikerjakan.

“Tantangan terdekat yang saya lihat adalah menterjemahkan strategi HIV/AIDS menjadi rencana tindak yang operasional dan konkrit,” kata Odede. (Unicef)

Sunday, 30 March 2008

Deadly Denial - Confronting AIDS in Asia

http://www.un.org/Pubs/chronicle/2008/webarticles/080327_aids.html

By United Nations Secretary-General Ban Ki-Moon

As a Korean, and the first UN Secretary-General from Asia in more than 30 years, it’s no surprise that I often speak of my home continent as a model for economic development. Yet when it comes to the AIDS epidemic, I am more disheartened than proud.

Across Asia, AIDS remains the most likely cause of death of people in their most productive years. At the rate we are going, the current 5 million Asians infected with HIV will grow to 13 million by 2020. Meanwhile the death toll mounts, with some 440,000 people succumbing to AIDS each year.

Asia’s flourishing economic prosperity does not help groups that are most vulnerable to the disease. People living with HIV—including many in low-risk groups—are denied their basic right to health.

This is deplorable, considering how little is required to contain the epidemic and help those in need. A new UN-supported survey, “Redefining AIDS in Asia: Crafting an effective response,” finds that annual investment of just thirty cents per capita can reverse the epidemic through prevention. That would translate into saving the lives of more than 200,000 people each year.

World Aids Day

Special event to remember 25 years of AIDS, at UN Headquarters in New York. (Photo: UN Photo/ Mark Garten)

I know my continent has the resources, the technology and the ability to undertake this ambitious and life-saving mission. Asia’s fast-growing economies have emancipated millions of poor people. Most countries on the continent are on track to achieve the Millennium Development Goals, our common vision for building a better world in the 21st century.

But if we fail to act, we could threaten the very prosperity that places Asia in a position to respond effectively now. We are in danger of spinning into a vicious circle where the AIDS epidemic grows so serious as to undermine economic growth and social resilience, leading to more and more infections at ever greater cost.

Experience shows Asia’s ability to act in the face of grave threats. We saw this in the response to SARS five years ago. Beyond the immeasurable good of saving lives, action will bring a tangible economic boost. For every dollar we spend on preventing HIV today, the report notes, we will save eight dollars on treatment in the future.

Our response to AIDS is not only about money. It is, above all, about people. The stigma associated with AIDS can be worse than the disease – robbing people of access to basic human rights and health care, preventing them from living a dignified life, and deterring them from getting tested for HIV.

Some of my most inspiring experiences as Secretary-General have been my meetings with UN+, the group of our staff members living with HIV. Their courage and expertise have given me new and invaluable insights into the epidemic. Hearing from these people, who speak with such directness about their lives, I felt ashamed of the discrimination that people living with HIV often face around the world, and perhaps especially in Asia. Painful as these lessons may be, I value them and intend, on my next visit, to visit a facility or organization addressing the needs of those living with HIV and AIDS.

Listening is important. But beyond that we must engage with people living with HIV as we develop policies and carry out programmes to address the epidemic.

Women and girls are the main caregivers – and they are also disproportionately vulnerable to HIV infection. They need special attention. We must tackle social norms that prevent women from protecting themselves, including through better legislation, or better enforcement of existing laws.

And we must guard against legislation that blocks universal access by criminalizing the lifestyles of vulnerable groups. We have to find ways to reach out to sex workers, men who have sex with men and drug users, ensuring that they have what they need to protect themselves.

It starts with Asian Governments showing leadership to invest more substantially in the fight against AIDS and move resolutely to stamp out stigma and discrimination.

This June, the UN General Assembly will hold a high-level meeting offering an opportunity to take stock and advance the global response to AIDS. I personally will do all I can – as a Secretary-General and an Asian – to be at the vanguard of this effort. I look to the leaders of Asia to do the same.