Thursday 19 July 2012

Buruh Migran Rentan Tertular HIV/AIDS

http://www.aidsindonesia.or.id/buruh-migran-rentan-tertular-hivaids.html



Kamis, 5 Juli 2012

KBR68H - Buruh migran  rentan tertular virus HIV/Aids. Minimnya pengetahuan TKI dan perilaku seks tak aman diantara  faktor  pemicu penyebaran penyakit mematikan itu.  Situasi ini diperparah dengan belum maksimalnya perlindungan dan pendampingan kepada mereka yang positif HIV/Aids. Akibatnya beberapa ODHA, mesti meregang nyawa. Belum lagi diskriminasi terkait pekerjaan yang mesti mereka terima.
Sore itu, Saturi dan Yuni tengah berkemas. Saat ditemui KBR68H kedua Tenaga Kerja Indonesia tersebut, siap  terbang dari  Jakarta menuju Abu Dhabi, Arab Saudi. Di sana mereka akan  mencari peruntungan, mengais  rezeki untuk keluarga. Sambil menutup risleting tasnya, perempuan tiga puluh tahunan itu  menunjukan barang bawaannya. “Bawa baju doang, sama (buku) Yasin, buku agenda dan mukena. Bawaan Yuni juga hampir sama. Itu saja,” tuturnya.
Keduanya  mencari nafkah di negeri orang untuk menafkahi keluarga mereka. “Mau cari uang buat sesuatu yag baru,” kata Yuni. “Kalau aku untuk bayar anak sekolah. Anakku empat. Dulu saya jualan nasi. Sekarang saya tidak kerja. Sementara suami, bekerja di tambang emas. Tapi sekarang sudah tutup. Sekarang tidak ada penghasilan,” imbuh Saturi.
Sebelum berangkat, sejumlah pelatihan terkait pekerjaan dan penyuluhan kesehatan  sudah mereka terima. Baik dari Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia(PJTKI) sampai Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Formulir permintaan tes HIV dari negara penerima pekerja migranFormulir permintaan tes HIV dari negara penerima pekerja migran
Bagaimana pemahaman mereka tentang HIV/Aids? “KBR68H: Ada pembelajaran tentang kesehatan?   Saturi: Penyakit aids. Jangan bermain seksual.  KBR68H: Berapa lama? Saturi: Dari jam 3-4. Bedanya HIV dan AIDS? Lupa.  Orang kena HIV bisa kerja? Tidak. Gelas yang dipakai bersama bisa menularkan? Nggak, eh, Bisa, makanya perlu direndam dengan air panas dulu.”
Mitos HIV/Aids
Benarkah pemahaman mereka tentang  virus mematikan tersebut?  Kelompok Kerja Komisi Penanggulangan AIDS untuk Pekerja Migran, Pandu Riono menjawab:  Tidak !  “HIV menular melalui gelas yang sama? Salah. Jika terkena hiv tak bisa bekerja, apakah itu benar? Salah, itu juga mitos, HIV mati juga salah. Minimal mereka harus tahu, gak bisa satu atau dua jam. Mungkin seharian, diberi penjelasan dan diskusi yang cukup lebar. Cerita-cerita sederhana, bukan hanya teori,”jelas Pandu.
Pemahaman yang minim seputar HIV/Aids, membuat para pahlawan devisa itu  rentan terpapar virus,  saat  mereka bekerja di negeri orang.
Hubungan seks yang tidak aman kata  Kepala BNP2TKI  Jumhur Hidayat, salah satu pemicunya. “Lebih banyak yang terkena HIV di luar negeri. Terutama laki-laki. Setelah bekerja, pulang dan diperiksa, ada yang terkena HIV. Ada istilah 4 M:  Man, Mobile, Macho with Money. Laki-laki, berpindah, jantan, punya hasrat yang kuat terhadap perempuan, with money, punya uang juga,” katanya seraya tersenyum.
Kepala BNP2TKI Jumhur HidayatKepala BNP2TKI Jumhur Hidayat
BNP2TKI  mengaku belum memiliki data pasti berapa TKI  yang  positif  HIV/Aids.  “Klinik atau pemeriksaan kesehatan tidak sepenuhnya memberikan data itu. Justru mereka tidak melaporkan secara rinci angka-angkanya. Karena masih ada semacam ketakutan atau tabu memberi laporan tentang HIV ini,” tambahnya.
Sekadar gambaran saja  di Jawa Tengah kasus TKI yang  terpapar virus HIV/Aids mencapai lebih dari 140 kasus.  Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah Anung Sugihantono “Menurut laporan BP3TKI pada saat bertemu dengan kami bersama salah satu LSM. Dari sekitar 105 ribuan TKI kita yang hand out pada 2011 itu ditemukan 145 yang positif HIV/AIDS, ini yang harus kita pahami sebagai satu warning untuk kita semua melakukan sesuatu,” jelasnya.
Yang tercatat di Jawa Timur lebih mengerikan. Pada tahun lalu saja, 320 pekerja migran asal provinsi itu  terpapar  HIV. Sementara  LSM Caring for Migrant Workers, melaporkan sejak 2010 mereka menerima lebih dari 50 kasus AIDS. Mereka adalah pekerja migran  yang terdeportasi dari negeri jiran Malaysia.
Tes Kesehatan
Sejumlah upaya untuk mengerem pertumbuhan kasus HIV/Aids digelar. Misalnya dilakukan tes kesehatan. KBR68H mengunjungi sebuah klinik kesehatan di  Jakarta.Puluhan calon pekerja migrant tengah antri  memeriksa kesehatan.  Salah satunya adalah Iwan. Bekas nelayan asal Cirebon, Jawa Barat ini akan bekerja di Taiwan. “Mau cek kesehatan buang air besar, kencing, ambil darah juga. Penyakit apa saja yang mau dicek? Penyakit apa aja. Pernah dikasih tau kalau di sini ada tes HIV juga? Nggak tahu. Baru kali ini,” akunya.
Direktur Amalia Medical Center Zainal MuhammadDirektur Amalia Medical Center Zainal Muhammad
Tampaknya Iwan kurang memperhatikan, dalam formulir pemeriksaan yang telah ia tanda tangani, terdapat surat pernyataan, “Saya mengizinkan pemeriksaan HIV atas diri saya”. Padahal, menurut standar Badan Kesehatan Dunia, tes HIV mesti sukarela dan melalui proses konseling. Hasilnyapun hanya boleh diketahui pasien.
Desakan negara-negara penerima pekerja migran menjadi alasan tes paksa ini. Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat menjelaskan, “Pemeriksaan itu diberitahukan Fit atau unfit aja. Tidak diberitahukan pada yang bersangkutan dia terkena HIV. Karena tenaga kerja mesnyaratkan tenaga kerja yang ke luar negeri harus diperiksa HIV. Itu keinginan mereka utuk diperiksa ke luar negeri. Sehingga tidak ada yang dilanggar karena ini rahasia. Sehingga mereka tidak membuka data.”
Namun kewajiban tes HIV ini ditentang berbagai kalangan, salah satunya Organisasi Buruh Internasional (ILO). Petugas Program Hiv dan Aids ILO, Risya Ariyani Kori berpendapat, tes kesehatan itu akan memicu  diskriminasi pekerjaan para  pekerja yang positif HIV/Aids. Sumber dari masalah ini kata  Risya  ada di Undang-Undang  tentang TKI.  “Undang-undang sendiri yang paling pasti, mereka mengharuskan pemeriksaan kesehatan, termasuk HIV dan AIDS. Dan kita tahu sekali mandatori testing ini sangat rentan membuat buruh migrant terdiskriminasi. Bukannya ini malah membantu, dan ILO sama sekali tidak mendukung itu,” ungkapnya.
Minim Pendampingan
KBR68H menemui bekas pekerja migran Baby Rivona. Kini ia menjadi Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia. Baby  dideportasi dari Malaysia karena terkena HIV pada 2002. “Karena satu tahun kemudian setelah saya berangkat, saya harus memperpanjang visa kerja. Kontrak dua tahun, memperpanjang visa kerja satu tahun sekali. Maka, saya meakukan medical tes lagi di Malaysia. Apakah itu kewajiban? Di beberapa negara iya. Saya langsung dipulangkan karena itu menjadi kebijakan mereka. Tidak boleh ada pekerja yang HIV positif,” ungkapnya.
Ketua IPPI Baby Rivona,(Foto sumber Radar Lampung)Ketua IPPI Baby Rivona,(Foto sumber Radar Lampung)
“Saya kehilangan pekerjaan saya. Padahal saya belum habis kontrak.Masih ada satu tahun lagi kontrak saya. Yang disayangkan lagi saya belum terima duit banyak juga karena dipotong gaji selama beberapa bulan. Jadi betul-betul apes. Dan setelah pulang juga, saya tidak tahu mesti ngapain,” tuturnya.
Analis Kebijakan LSM Migrant Care Wahyu Susilo membenarkan para pekerja migrant rentan tertular virus HIV/Aids. “Buruh migran kita yang berada di luar negeri terjebak dalam sindikat perdagangan manusia. Apalagi mereka terjebak sebagai perempuan yang dilacurkan. Itu yang menurut saya kelompok yang paling rentan,” jelasnya.
Sebut saja namanya Mei-Mei, ia salah seorang korban perdagangan manusia. Mengaku sempat dijual mucikari ke Malaysia.  Namun ia  berhasil kabur.
Didampingi sebuah lembaga swadaya masyarakat, perempuan ini melakukan tes HIV. Hasilnya positif. Untunglah ia mendapat pendampingan informasi dari lembaga non pemerintah. “Belum, Cuma  saya masih ingat, pendamping saya waktu itu, mbak Ika, yang mengantar saya pulang sampai Semarang, dipertemukan oleh koordinator kelompok dukungan sebaya di Salatiga. Akses berikutnya saya mencari informasi ya dari kelompok dukungan sebaya di salatiga itu,” kata Mei-Mei.
Analis kebijakan Migran Care, Wahyu SusiloAnalis kebijakan Migran Care, Wahyu Susilo
Tak semua TKI  yang terkena virus HIV/Aids  beruntung seperti Mei-Mei. Akibat tak ada pendampingan kesehatan, tak jarang di antara mereka mesti meregang nyawa. Bahkan banyak pekerja migrant yang baru terdeteksi terkena aids, setelah meninggal . Kembali Wahyu Susilo, “Biasanya yang kita sering kordinasi dengan teman-teman, ada kasus pada HIV/Aids ditemukan kebanyakan saat meninggal dunia. Saya kira kuncinya pada minimnya informasi mengenai perlunya seseorang yang dari mobilitas yang jauh memeriksakan kesehatan. Terutama pada buruh migran.”
Kondisi ini diperparah dengan posedur penanganan kasus HIV/Aids  di kalangan pekerja migrant yang tidak jelas.  Hal itu dibenarkan Direktur Amalia Medical Center Zainal Muhammad. “Kita tetap mengikuti standar, dalam arti kita memberikan unfit, dalam arti tidak layak, untuk bekerja di luar negeri, tanpa sebab. Nah, sebabnya itu sendiri hanya bisa dia tanya melakui lisan. 15% tadi tidak semuanya mempertanyakan. Katakanlah 5%. Biasanya dia pulang begitu saja karena merasa diri. Kasusnya hiv di sini mungkin bisa 1 di antara seribu orang,” jelasnya.
Zainal menambahkan,”Dari mereka asalnya harus diberikan oleh pemerintah. Sehingga kalau kedapatan suspect tadi dengan pemeriksaan detail lebih lanjut, mau diapakan? Apakah orang ini dimasukan ke dalam, semacam diawasi? Diobati? Direkomendasikan dibawa ke mana-kemana sampai sekarang belum ada? Kalo ada sosialisasi diperlukan.”
Sistem Kesehatan Terpadu
Kelompok Kerja Pekerja Migrant dari Komisi Penanggulangan AIDS Pandu Riono melacak, akar penyebab karut-marutnya persoalan ini akibat tidak adanya  sistem penanganan kesehatan yang terpadu. “Kalau mereka melakukan koordinasi dengan benar, tahu apa yang dilakukan, ya, karena uang banyak karena uang banyak mereka melupakan fungsi-fungsi dasar. Hasil eksternal review dari WHO di Indonesia ada dualisme penanganan HIV/Aids. Yang satu dipimpin KPA yang satu dipimpin Kemenkes. Dan ini saling bertolak belakang, sehingga tidak terjadi koordinasi,” kata Pandu.
Peluang untuk mengatasi masalah ini terbuka, pasca DPR meratifikasi konvensi Organisasi Pekerja Internasional .  Upaya itu mesti diimbangi lewat  revisi Undang-Undang  TKI, kata  Ketua Panitia Kerja UU itu, Irgan Chairul Mahfiz. “Bukan hanya persoalan kesehatan saja yang kita masukan, seluruh hak-hak normatif buruh harus mendapat perhatian. Peningkatan kesejahteraan dan perlindungannya harus jadi perhatian. Jadi ratifikasi konvesi ilu ini dalam rangka pemenuhan hak-hak normatif.”
Langkah lainnya dengan membentuk badan baru. “Kalau BNP2TKI itu kan badan nasional penempatan dan perlindungan. Kita ingin badan perlindungan. Perlindungan yang kita kedepankan. Ini rekomendasi dpr ke pemerintah kita ingin badan yang tidak tumpang tindih dengan Kementerian Tenaga kerja dan transmigrasi,” imbuh Irgan.
Namun sejumlah langkah di atas kertas itu kata  bekas pekerja migran yang terpapar virus HIV/Aids Baby Rivona akan sia-sia, jika praktik diskriminasi masih mereka terima.  KBR68H: Anda merasa ada hak-hak anda yang terlanggar? Pasti, karena saya merasa saya orang sehat dan tidak boleh bekerja. Kenapa saya tidak boleh bekerja? Hanya karena penyakit ini. Hingga saat ini, kita berjuang keras agar bisa orang HIV bisa kembali bekerja ke luar negeri, tapi tetap saja tak bisa, karena kebijakan negara itu tidak mengizinkan,” katanya lirih. (Gur|Fik)



No comments: