Break The Silence

Dedicated to persons serving and all of PLWHAs, a Shelf of Information on HIV / AIDS compiled by Dewi Darmawati

Friday, 30 November 2012

WORLD AIDS DAY 1 DECEMBER 2012

http://www.un.org/en/events/aidsday/

Getting to Zero

MORE THAN 50% DROP IN NEW HIV INFECTIONS ACROSS 25 COUNTRIES AS COUNTRIES APPROACH THE 1000 DAY DEADLINE TO ACHIEVE GLOBAL AIDS TARGETS

A new World AIDS Day report: Results, by the Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), shows that unprecedented acceleration in the AIDS response is producing results for people.
Declining new HIV infections in children
The area where perhaps most progress is being made is in reducing new HIV infections in children. Half of the global reductions in new HIV infections in the last two years have been among newborn children.
Fewer AIDS-related deaths 
The report shows that antiretroviral therapy has emerged as a powerful force for saving lives. In the last 24 months the number of people accessing treatment has increased by 63% globally.
More investments 
The report shows that countries are increasing investments in the AIDS response despite a difficult economic climate. The global gap in resources needed annually by 2015 is now at 30%. In 2011, US$ 16.8 billion was available and the need for 2015 is between US$ 22-24 billion.
In 2011, an estimated:
  • 34 million [31.4 million - 35.9 million] people globally were living with HIV
  • 2.5 million [2.2 million - 2.8 million] people became newly infected with HIV
  • 1.7 million [1.5 million - 1.9 million] people died from AIDS-related illnesses

10 goals for 2015

  • Sexual transmission of HIV reduced by half, including among young people, men who have sex with men and transmission in the context of sex work;
  • Vertical transmission of HIV eliminated and AIDS-related maternal deaths reduced by half;
  • All new HIV infections prevented among people who use drugs;
  • Universal access to antiretroviral therapy for people living with HIV who are eligible for treatment;
  • TB deaths among people living with HIV reduced by half;
  • All people living with HIV and households affected by HIV are addressed in all national social protection strategies and have access to essential care and support;
  • Countries with punitive laws and practices around HIV transmission, sex work, drug use or homosexuality that block effective responses reduced by half;
  • HIV-related restrictions on entry, stay and residence eliminated in half of the countries that have such restrictions;
  • HIV-specific needs of women and girls are addressed in at least half of all national HIV responses;
  • Zero tolerance for gender-based violence.
Posted by dewi at 09:25 No comments:

Hari AIDS Sedunia 2012

http://amriawan.blogspot.com/


Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember diperingati untuk menumbuhkan kesadaran terhadap wabah AIDS di seluruh dunia yang disebabkan oleh penyebaran virus HIV.

Konsep ini awalnya digagas pada Pertemuan Menteri Kesehatan Sedunia mengenai Program-program untuk Pencegahan AIDS pada tahun 1988. Sejak saat itu, ia mulai diperingati oleh pihak pemerintah, organisasi internasional dan yayasan amal di seluruh dunia.

Hari AIDS Sedunia pertama kali dicetuskan pada Agustus 1987 oleh James W. Bunn dan Thomas Netter, dua pejabat informasi masyarakat untuk Program AIDS Global di Organisasi Kesehatan Sedunia di Geneva, Swiss. Bunn dan Netter menyampaikan ide mereka kepada Dr. Jonathan Mann, Direktur Program AIDS Global (kini dikenal sebagai UNAIDS). Dr. Mann menyukai konsepnya, menyetujuinya, dan sepakat dengan rekomendasi bahwa peringatan pertama Hari AIDS Sedunia akan diselenggarakan pada 1 Desember 1988.

Sejak dibentuknya hingga 2004, Program Bersama PBB untuk HIV/AIDS (UNAIDS) memimpin kampanye Hari AIDS Sedunia, memilih tema-tema tahunan melalui konsultasi dengan organisasi-organisasi kesehatan global lainnya.

Sejak 2008, tema Hari AIDS Sedunia dipilih oleh Komite Pengarah Global Kampanye Hari AIDS Sedunia setelah melalui konsultasi yang luas dengan banyak pihak, organisasi dan lembaga-lembaga pemerintah yang terlibat dalam pencegahan dan perawatan korban HIV/AIDS. Untuk setiap Hari AIDS Sedunia dari 2005 hingga 2010, temanya adalah "Hentikan AIDS, Jaga Janjinya", dengan sebuah sub-tema tahunan.

Sementara seruan yang akan terus dikumandangkan adalah :


"STOP AIDS, TINGKATKAN HAK DAN AKSES PENDIDIKAN UNTUK SEMUA"

PEDOMAN PELAKSANAAN HARI AIDS SEDUNIA 2012
 
Tema Peringatan Hari AIDS Sedunia Tahun 2012 di Indonesia adalah :
 
“Lindungi Perempuan dan Anak dari HIV dan AIDS”

Sub-Tema Peringatan Hari AIDS Sedunia Tahun 2012 di Indonesia adalah :
  1. Kesetaraan Gender Dalam Keluarga dan Masyarakat sebagai bagian dari upaya penanggulangan dan pencegahan HIV dan AIDS,
  2. Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak Sebagai Salah Satu Upaya Menciptakan Generasi Baru Bebas HIV dan AIDS,
  3. Pemenuhan Hak Anak Sebagai Bagian dari Upaya Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS.
  4. “Menuju Zero New HIV Infection, Zero Discrimination and Zero HIV Related Deaths di tahun 2015” yang diterjemaahkan menjadi “Menuju Pencapaian Komitmen Tidak Ada Infeksi Baru HIV, Tidak Ada Diskriminasi dan Tidak Ada Kematian Terkait HIV di Tahun 2015”
  5. Dukungan ketersediaan ARV dan pemberdayaan Odha sebagai bagian dari pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS
Slogan Peringatan Hari AIDS Sedunia Tahun 2012 di Indonesia adalah :

“Stop AIDS Melalui Kesetaraan Gender Untuk Menghapus Segala Bentuk Stigma dan Diskriminasi”.
 
Makna dari tema ini adalah perempuan dan anak merupakan bagian terbesar dari jumlah kasus HIV dan AIDS, perempuan rentan terinfeksi HIV dari pasangannya dan hal ini berdampak terhadap anak. 
 
Melalui tema ini diharapkan dapat menghapus stigma dan diskriminasi serta meningkatkan partisipasi laki-laki/suami dalam pemenuhan Hak reproduksi perempuan. Laki-laki/suami mempunyai peran penting ikut menjaga kesehatan reproduksi dirinya dan pasangannya. 
 
Keterlibatan laki-laki dalam mendukung kesehatan reproduksi perempuan sangat besar dan mampu mengubah peran sosial yang sampai saat ini masih membatasi kesehatan reproduksi dan hak-hak reproduksi perempuan, serta pengertian lakilaki dan dukungan mereka untuk hak asasi perempuan serta kesetaraan gender.

Downloads Buku Pedoman HAS 2012_Final.PDF

Posted by dewi at 09:07 No comments:

Thursday, 29 November 2012

SURAT dari ODHA untuk MRAN 2012

http://www.odhaberhaksehat.org/2012/surat-dari-odha-untuk-mran-2012-stop-peredaran-obat-arv-jenis-d4t-dan-mari-selamatkan-odha/
may 23, 2012 by odhaberhaksehat

Dikirim dalam rangka MRAN 31 Mei 2012

STOP Peredaran obat ARV jenis d4T dan Mari selamatkan ODHA!

Kepada Ibu dan Bapak dokter serta paramedis yang baik;
Kita baru saja memperingati Malam Renungan AIDSNusantara (MRAN) 2012. Ini adalah sebuah malam dimana kita mengenang adik, kakak, pasangan, anak, orangtua, saudara, rekan, kerabat bahkan orang yang tidak kita kenal yang telah mendahului kita. Kalah dalam pertarungannya melawan infeksi HIV di dalam tubuhnya.
Kami tidak ingin banyak berbicara angka kali ini, sebab angka-angka yang selama ini kerap di tampilkan sebenarnya adalah sebuah fenomena berwajah yang memperlihatkan betapa persoalan HIV dan AIDS telah membelit bangsa Indonesia.
Kami berterima kasih sekali kepada Bapak dan Ibu Dokter yang selama ini telah melayani kami dengan memberikan informasi, perawatan dan pengobatan bagi kami di dalam upaya kami mengendalikan HIV yang berada dalam tubuh kami. Kami sangat mengapresiasi ini.
Ijinkan kami bercerita sedikit. Sudah lebih dari 30 tahun HIV dikenal oleh peradaban manusia sebagai sebuah virus yang mematikan. Yang lebih miris lagi dan kami rasakan, beban kami seolah tidak cukup dengan harus berdamai bersama virus dalam tubuh yang mengintai setiap saat tubuh kami dalam kondisi lemah untuk kemudian mengijinkan penyakit lain masuk ke dalam tubuh kamu namun kami juga harus menghadapi penghakiman dari masyarakat luas bahwa kami ini yang terinfeksi HIV adalah golongan orang-orang yang tidak bermoral, melawan takdir, sampah masyarakat dan berjuta sebutan stigmatif lainnya seolah kami ini bukan manusia tanpa mau melihat bahwa diantara kami ada bayi tidak berdosa, anak bahkan Ibu rumah tangga yang tidak pernah membayangkan mereka akan mendapatkan takdir untuk hidup bersama HIV. Sebutan stigmatif itulah yang kemudian membuat kami merasakan diskriminasi yang sangat hebat di dalam setiap aspek kehidupan kami.
Ibu dan Bapak Dokter serta paramedis yang baik;
Bapak dan Ibu dokter tentunya sudah mengetahui bahkan di layanan kesehatan saja, kami masih mengalami diskriminasi. Mulai dari gunjingan petugas layanan kesehatan ketika memberikan layanan kepada kami, berlebihannya perlakuan petugas seolah kami ini membawa virus yang menyebar melalui tatapan mata sampai dengan ditolaknya kami mendapatkan kamar untuk perawatan kami dan ironisnya selalu dibungkus dengan perkataan bahwa kami harus ditempatkan dalam kamar isolasi demi kebaikan kami sendiri agar terhindar dari infeksi penyakit yang berasal dari pasien lain.
Kami mungkin sakit, namun kami juga bukan orang bodoh. Kami tahu bahwa sudah menjadi hak setiap pasien untuk terhindar dari infeksi Nosokomial yang selama ini selalu dijadikan alasan petugas layanan kesehatan mengisolasi kami dan atau menolak kami ketika kamar isolasi yang jumlahnya tidak seberapa itu digunakan oleh pasien ODHA yang lain.
Kami masih bisa menerima jika stigma dan diskriminasi ini kami dapatkan dari masyarakat umum karena kami tahu bahwa mereka pun masih belum tertapapar informasi terkait  HIV dan AIDS. Kami sadar bahwa bagi pemerintah kita, urusan HIV dan AIDS ini tidak terlalu seksi untuk dibicarakan dibanding dengan isu pemilihan kepala daerah, kekerasan, kriminal bahkan sampai dengan Lady Gaga. Kami sadar bahwa pemerintah kita telah gagal memberikan edukasi kepada msayarakat terkait HIV dan AIDS sehingga kemudian karena ketidak tahuan mereka, perlakuan diskriminatif sering kami terima.
 Ibu dan Bapak Dokter serta paramedis yang baik;
Kami berterima kasih karena dengan pemberian ARV secara gratis selama ini telah membuat angka kematian pasangan, teman dan saudara kami yang terinfeksi HIV semakin menurun. ARV telah menjadi teman setia kami dalam membuat perdaimaian dengan HIV yang ada dalam tubuh kami. ARV telah membuat hidup kami yang selama ini suram menjadi punyai seberkas sinar pengharapan. Pengharapan untuk tetap hidup di dunia yang diciptakan Tuhan untuk semua ciptaannya, baik ODHA maupun bukan.
Tahukah Ibu dan bapak, bahwa dalam upaya kami berdamai ditemani oleh ARV tersayang ini kami sering mendapatkan efek tidak menyenangkan akibat dari zat-zat kimia yang terkandung dalam ARV dan harus kami telan setiap harinya sepanjang hidup kami? Ya betul, kami mendapatkan efek samping yang tidak kalah berbahayanya dengan infeksi HIV di dalam tubuh kami. Bagi kami yang perempuan, efek samping ini semakin tidak tertahankan karena kami sadar bahwa penelitian dalam membuat obat ARV ini belum memperhatikan kerentanan biologis dari kami yang perempuan.
Hampir setiap malam kami mengalami kesemutan bahkan hingga kelumpuhan sesaat, anemia berat kadang membuat kami kehilangan kesadaran, lemak otot kami menyusut sehingga pipi dan beberapa bagian tubuh kami menjadi kempot sehingga membuat kami tidak nyaman dalam berinteraksi sebagaimana manusia lainnya karena semakin melekatkan stempel di dahi kami jika kami adalah orang yang hidup dengan HIV.
Semua itu akibat efek samping dari ARV yang selama ini telah kami anggap sebagai teman sehidup semati. Tidak, kami tidak akan protes dan berhenti dengan teman kami itu sebab kami menyadari bahwa hanya merekalah sampai saat ini yang menjadi teman setia dalam mengendalikan teman kami yang nakal bernama HIV di dalam tubuh.
Ibu dan Bapak dokter serta paramedis yang baik;
Kami ingin mengajukan permohonan kepada ibu dan bapak semua di dalam peringatan Malam Renungan AIDS Nusantara 2012 ini. Permohonan agar jangan sampai ada diantara kami yang kemudian menyerah dan berpulang kepada Sang Pencipta bukan karena infeksi HIV dalam tubuh namun karena tubuh kami tidak kuat menerima efek samping yang disebabkan ARV yang kami konsumsi. Kami harap ibu dan bapak mau mengabulkan permohonan kami ini.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) melalui panduannya untuk penggunaan ARV 2010 yang kemudian diadopsi oleh Kementrian Kesehatan dalam Panduan ARV yang dikeluarkan pada tahun 2011 telah menyebutkan dengan jelas bahwa ada jenis ARV yaitu jenis d4t atau biasa dikenal dengan nama dagang Stavudine mempunyai kandungan racun yang berbahaya bagi ODHA yang mengkonsumsinya bahkan hingga menyebabkan kematian kami.
Kami menyesalkan karena obat yang lebih banyak bahaya dibanding manfaat bagi kami ini masih terus didistribusikan. Kami menderita karena obat ini. Bahkan kami tidak tahu apakah lebih menderita berdamai dengan HIV dalam tubuh ataukah harus menahankan efek samping dari ARV yang baru saja kami ketahui seharusnya sudah tidak didistribusikan karena mempunyai racun yang membahayakan nyawa kami.
Kami ingin meminta kepada Ibu dan Bapak untuk berhenti memberikan resep obat d4t ini kepada kami. Bantu kami dalam memilih obat yang tepat dan sedikit mengandung racun yang berbahaya bagi tubuh kami. Bantu kami dalam mendorong Kementrian Kesehatan bisa menyediakan obat yang lebih aman untuk menjadi teman seumur hidup kami.
Kami masih ingin hidup. Kami masih ingin mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya bagi kami namun juga bagi masyarakat, nusa dan bangsa.
Berikanlah hadiah kepada kami di MRAN 2012 ini dengan Berhenti meresepkan ARV jenis d4t (Stavudine) kepada ODHA.
Selamatkanlah ODHA!
catatan: Sudah diputuskan bahwa secara bertahap d4t dihentikan penggunaannya [dd]

Posted by dewi at 02:29 No comments:

ODHA harus mendapatkan obat ARV yang Aman.

http://www.iac.or.id/odha-harus-mendapatkan-obat-arv-yang-aman/#.ULcoNOTqnL4

“Ya, memang sebaiknya ARV jenis d4T itu digantikan dengan yang lebih aman. Misalnya Tdf (tenofovir)” ucapan itu meluncur dari mulut Prof Dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM, seorang Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam, Universitas Indonesia. Ucapan itu meluncur ketika tim advokasi dari IAC dan Kampanye #ODHABerhakSehat menemui beliau di sela-sela acara pemberian apresiasi kepada ODHA (Orang terinfeksi HIV) yang telah mengkonsumsi ARV lebih dari 5 tahun dan bisa tetap sehat.


Acara ini diadakan di Ruang Kuliah Penyakit Dalam, Universitas Indonesia pada tanggal 23 Mei 2012. Acara ini merefleksikan dan memperlihatkan betapa baiknya hubungan yang terjalin diantara dokter dan staff paramedis di Pokdisus RSCM dengan ODHA. Hubungan yang berjalan baik ini sangat diperlukan guna menjaga kualitas hidup ODHA tetap sehat. Peserta dari acara ini meliputi segenap dokter dan paramedis di Pokdisus HIV dan AIDS RSCM serta sekitar 50 ODHA yang selama ini mengakses layanan HIV dan AIDS.
Acara diawali dengan beberapa pemaparan dari Tim Pokdisus RSCM yang memperlihatkan beberapa perbaikan baik dalam struktur maupun infrastuktur layanan HIV dan AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo. Perbaikan ini sangat menunjang peran kerja unit HIV dan AIDS di lingkup RSCM ini menginggat rumah sakit ini menjadi rujukan utama guna menangani persoalan HIV dan AIDS. Setiap bulannya ada ribuan ODHA yang berobat di Rumah Sakit ini.
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab dengan ODHA yang hadir. Prof Zubairi menanyakan jenis ARV apa yang dikonsumsi rekan-rekan ODHA, berapa lama dikonsumsi dan bagaimana kondisi kesehatannya sekarang. Semua ODHA lalu bergantian bercerita bahwa dengan ARV mereka bisa menjaga tingkat kesehatannya lebih baik. Dari ODHA yang datang, diketahui hanya sekitar 5 orang yang masih mengkonsumsi kombinasi obat ARV yang menggunakan jenis d4T. Ketika Prof Zubairi bertanya siapakah diantara pengguna ARV tersebut yang mengalami efek samping yang menggangu, beberapa pengguna ARV non d4T menyatakan ada beberapa yang mengalami efek samping dan semua pengguna ARV jenis d4T mengangkat tangan dan menyatakan mereka menerima efek samping akibat kombinasi ARV dengan salah satunya menggunakan d4T.
Salah seorang ODHA perempuan kemudian bercerita di depan bahwa dia sempat menggunakan ARV jenis d4T di masa awal. Ketika itu dia sampai 2 tahun menggunakan obat ini. Dia bercerita jika efek samping obat ini telah menyedot lemak dia di bagian tangan dan kemudian muncul penebalan lemak di bagian lain tubuhnya. “Keluarga saya komplain karena penampilan saya menjadi aneh sehingga kuatir mengundang pertanyaan dari saudara-saudara saya. Saya sekarang lebih bermasalah dengan stigma yang lahir dari berubahnya bentuk fisik tubuh saya ini dibandingkan stigma saya sebagai seorang yang terinfeksi HIV” Sekarang dia telah berganti jenis obat namun masih harus berjuang untuk pemulihan fisiknya sehingga terlihat seperti pada orang umumnya.
Prof Zuabiri kemudian menjelaskan bahwa setiap obat pasti mempunyai efek positif dan negatif. Satu yang dia tekankan. ARV itu sangat membantu ODHA bisa tetap sehat sehingga dia menghimbau setiap ODHA jangan berhenti minum obat ARV. Namun, dia pun berujar bahwa pengalam teman-teman ODHA yang sharing ini perlu dijadikan pembelajaran bagi setiap dokter di Pokdisus RSCM serta dokter lain untuk mengganti peresepan obat ARV jenis d4T dengan obat ARV jenis lain yang lebih aman. Misalnya Tdf (Tenovovir).
Beberapa studi kasus di RSCM juga menunjukkan bahwa ada kemungkinan bahwa pasien yang berpindah dari sebelumnya menggunakan AZT lalu karena anemia kemudian berganti obat menjadi ARV jenis d4T bisa kembali lagi menggunakan obat AZT namun dia berpesan hanya boleh dilakukan dimana kondisi monitoring pasien bisa berjalan baik. Bila tidak, disarankan untuk menggantinya dengan Tenovovir.
Ketika ditemui seusai acara oleh tim advokasi #Stopd4T, Prof Zubairi Djoerban kembali menegaskan pendapatnya bahwa memang sebaiknya ARV jenis d4T diganti dengan jenis ARV yang lebih aman misalnya Tdf (Tenovovir). Tapi sekali lagi dia berpesan kepada Tim Advokasi #Stopd4T untuk selalu mengedepankan kepentingan korban yaitu ODHA yang mengkonsumsi d4T di dalam mengupayakan upaya penggantian obat ARV jenis d4T dengan jenis lainnya yang lebih aman. Jangan sampai kemudian ODHA tidak mengkonsumsi ARV.
Beliau memberikan masukan berharga dengan meminta kepada teman-teman untuk memetakan di daerah mana obat ARV jenis d4T itu masih di distribusikan, daerah mana dimana d4T didistribusikan dan sudah ada obat Tdf yang juga didistribusikan serta daerah mana dimana obat d4T itu didistribusikan namun belum ada obat Tdf yang beredar. Dia berpesan untuk memberikan perlakuan yang berbeda terhadap setiap daerah ini sehingga ODHA tetap bisa mendapatkan pengobatan. Dia pun sepakat jika para dokter di daerah pelan-pelan mulai merespkan obat ARV yang lebih aman kepada ODHA karena efek samping d4T ini bisa berbahaya bagi ODHA.
Di akhir kata ketika tim advokasi #Stopd4T meminta kepada Prof Zubairi Djoerban untuk kembali memimpin gerakan masyarakat untuk memperjuangkan perbaikan akses pengobatan bagi ODHA serta kemungkinan melakukan lisensi wajib kepada ARV bukan hanya lini 1 namun juga Lini 2, beliau berpesan “Sudah saatnya ODHA-ODHA seperti kalian ini yang berdiri di depan dan meminta pemerintah melakukan perbaikan akses pengobatan kepada ODHA. Jangan hiraukan perasaan bahwa kalian tidak memahami medis klinis karena pada prinsipnya suara kalianlah yang semestinya di dengar karena kalian adalah korban dari Epidemi ini.” Belian pun menambahkan jika dirinya serta beberapa rekan lainnya selalu siap sedia setiap saat mendukung upaya ODHA guna berjuang meminta perbaikan akses pengobatan bagi seluruh ODHA di Indonesia
Posted by dewi at 02:05 No comments:

ARV, Efek Samping Dan Penanganannya

http://dic2hivaids.wordpress.com/2010/01/21/arv-efek-samping-dan-penanganannya/

Maria Ulfa Eleven Safa – Okezone
JAKARTA – HIV/AIDS memang belum ditemukan obatnya. Namun upaya pemerintah untuk mencegah agar virus mematikan ini terus dilakukan, salah satunya dengan memberikan terapi Antiretrorival (ARV). Departemen Kesehatan mencatat Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mengkonsumsi obat ini sebanyak 13.858 jiwa.
ARV diyakini dapat menekan replikasi HIV dan viral load. “Jumlah ODHA yang mengkonsumsi ARV tertinggi terdapat di DKI Jakarta yakni sebanyak 6.135 jiwa,” papar Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen P2PL) Departemen Kesehatan , Tjandra Yoga Aditama melalui rilis yang diterima okezone, Sabtu (28/7/2009) malam.
Sedangkan Jawa Barat menempati posisi kedua dengan jumlah pengkonsumsi ARV sebanyak 1.724, Jawa Timur (1.145) , Bali (811), Jawa Tengah (436), Papua (433), Sumatera Utara (442), Kalimantan Barat (382), Kepulauan Riau (335), dan Sulawesi Selatan (314).
“Kematian ODHA menurun dari 46 persen pada tahun 2006 menjadi 17 persen pada tahun 2008. Sampai dengan September 2009, sebanyak 79 persen ODHA mengkonsumsi obat ini,” tandasnya.(bul)(hri)
Berbagai Jenis ARV
Beberapa jenis obat-obatan ARV diungkapkan oleh Teguh. Obat-obatan ini dibagi dalam 3 golongan yaitu Nucleosid Reverse Transcriptase inhibitor (NRTI), Non Nucleosid Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), dan Protease Inhibitor (PI).
Obat yang termasuk dalam golongan NRTI dieliminir terutama melalui ginjal dan tidak berinteraksi dengan obat lain yang melalui cytocrom P-450. Obat-obatan ini juga dapat diokombinasikan dengan obat dari golongan PI dan NNRTI tanpa dilakukan penyesuaian dosis. Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah Zidovudine (AZT), Didanosine (DDL), Zalcitabine (ddC), Stavudin (d4T), Lamivudine (3TC), Abacavir (ABC), Tenofovir (TDF), dan Emtricitabine (FTC).
Zidovudine (AZT, ZDV, Retrovir) memiliki efek samping anemia, netropenia, mual, muntah, rasa lemah, lelah, asidosis laktat. Dengan dosis pemakaian 2×300 mg per hari obat ini tidak boleh dipakai bersama Stavudine (d4T). Sedangkan Stavudine (d4T, Zerit) memiliki efek samping neuropati, lipoatrofi. Dosis pemakaiannya berdasarkan berat badan. Bila >60 kg maka dosisnya adalah 2×40 mg per hari dan bila <60 2="2" adalah="adalah" baik="baik" biasanya="biasanya" dapat="dapat" dengan="dengan" ditoleransi="ditoleransi" dosisnya="dosisnya" efek="efek" epivir="epivir" hari.="hari." hiviral="hiviral" kg="kg" lamivudine="lamivudine" mg="mg" p="p" per="per" ringan.="ringan." samping="samping">
Obat yang termasuk dalam golongan NNRTI adalah Nevirapine (NVP), Delavirdine (DLV), Efavirenz (EFV). Obat ini dapat menghambat atau menginduksi aktivitas cytocrom P-450 di hati sehingga dapat berinteraksi dengan obat-obat lain yang melalui cytokrom P-450. Obat ini memerlukan lebih, apabila akan dikombinasikan dengan ARV lain. Nevirapin akan menurunkan kadar Indinavir dan Saquinavir. Efavirenz akan menurunkan kadar plasma Indinavir, Lopinavir, Saquinavir, Amprenavir dan akan menaikkan kadar plasma Ritonavir dan Nelvinavir. Nevirapine dan Efavirenz juga akan menurunkan plasma konsentrasi Metadon sebesar 50 persen sehingga pemakaian bersama dengan kedua obat ARV ini, harus berhati-hati terhadap gejala withdrawal serta membutuhkan dosis yang lebih tinggi.
Nevirapine (Viramun, Neviral) memiliki efek samping rash karena alergi, steven johnsons syndrome, anafilaksis, meningkatnya SGOT/PT, menurunkan konsentrasi rifampisin dan ketokonazol dalam darah. Dosis yang digunakan dadalah 1×200 mg per hari untuk 2 minggu pertama, dan selanjutnya 2×200 mg per hari. Efavirenz (stocin, sutiva) dimakan pada malam hari dengan dosis 600 mg per hari. Efek samping mengonsumsi obat ini adalah teratogenik, gejala sistem saraf pusat (dizziness, sakit kepala ringan, mimpi buruk) yang akan hilang pada mingggu pertama pertama.
Golongan obat ketiga dari ARVadalah PI, yang terdiri dari Saquinavir (SQV), Indinavir (IDV), Ritonavir (RTV), Nelvinafir (NFV), Amprenavir (APV), Lopinavir/Kaletra (LPV/r), Atazanavir (ATV). Obat-obatan ini menghambat CYP3A4 sehingga harus berhati-hati jika digunakan bersama obat lain. Golongan obat ini memiliki kontraindiksi jika dipakai bersama dengan obat antiaritmia, hinotik-sedatif, dan derivat ergot serta menurunkan knsentrasi plasma lovastatin dan simvastatin secara umum.

Terapi Lini Pertama
WHO pada Kongres HIV Internasional 2006 di Toronto merekomendasikan pemakaian terapi lini pertama pada orang dewasa terdiri dari 2 kombinasi NRTI dan 1 NNRTI. Rekomendasi ini didasarkan bahwa regimen ini memiliki efikasi yang baik, lebih murah dibanding regimen lain, memiliki versi generik, dan tidak memerlukan rantai dingin. Namun ada beberapa kelemahan yaitu waktu paruh obat yang berbeda dan adanya fakta mutasi diasosiasikan dengan resistensi beberapa obat misalnya 3TC dan beberapa NNRTI.
Analog thiacytadine (3TC atau FTC) digunakan sebagai pilihan pertama digabungkan dengan nukleoside atau analognya  yang pilihannya adalah AZT, TDF, ABC, atau d4T. Akhirnya kombinasi ketiga adalah EFV atau NVP.
Gambar 1. Pilihan terapi lini pertama ARV
AZT atau d4T                                                       EFV
3TC atau FTC
TDF atau ABC                                                     NVP
Regimen tiga NRTI dapat dipertimbangkan sbagai alternative terapi lini pertama saat pilihan NNRTI mengakibatkan terjadinya kompikasi dan ketika golongan PI dirancang untuk terapi lini kedua. Hal ini misalnya pada wanita dengan jumah CD4 antara 250-350 sel/mm3, ko-infeksi dengan virus hepapatitis atau tuberkulosis, atau adanya reaksi terhadap NVP atau EFV. Kombinasi 3 NRTI yang direkomendasikan adalah zidovudine+lamivudine+abacavir dan zidovudine+lamivudine+tenofovir.
Monoterapi atau dual terapi tidak dapat digunakan untuk terapi infeksi HIV kronik. Kombinasi ini hanya digunakan untuk setting PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission) dan profilaksis pasca paparan. Beberapa kombinasi pasangan NRTI juga tidak dapat digunakan. KOmbinasi itu adalah d4T+AZT, d4T+ddl dan 3TC+FTC.

Berhasil atau Gagal?
Keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinis pasien yang membaik setelah 6 bulan terapi, misalnya berat badan bertambah. Ukuran jumah sel CD4 menjadi prediktor terkuat terjadinya komplikasi HIV.  Jumlah CD4 yangmenurun diasosiasikan sebagai perbaikan yang lambat dalam terapi, meski pada kenyataannya pasien yang memulai terapi pada saat CD4 rendah, akan menunjukkan perbaikan yang lambat. Namun jumlah CD4 di bawah 100 sel/mm3 merepresentasikan risiko yang signifikan untuk terjadinya penyakit HIV yang progresif. Maka, kegagalan imunologik dikatakan terjadi jika jumlah CD4 kurang dari angka tersebut.
Selain itu, uji viral load merupakan cara yang informatif dan sensitif untuk mengidentifikasikn kegagalan terapi. Pengobatan dikatakan sukses secara virulogik jika tingkat RNA plasma HIV-1 berada di bawah 400 copy/ml atau 50 copy/ml setelah 6 bulan terapi.
Jika gagal, maka dapat dipertimbangkan untuk mengganti regimen atau masuk ke terapi lini kedua. (Ika)

Efek samping spesifik terhadap ART beragam tergantung ras dan jenis kelamin 
Oleh: The Kaiser Daily HIV/AIDS Report    Tgl. laporan: 1 Mei 2008
Walaupun tingkat efek samping pada Odha yang memulai terapi antiretroviral (ART) secara keseluruhan tidak berbeda secara bermakna berdasarkan ras dan jenis kelamin yang berbeda, ada perbedaan yang bermakna pada efek samping spesifik. Hal ini berdasarkan sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes baru-baru ini. Untuk penelitian ini, Ellen Tedaldi dari Fakultas Kedokteran Universitas Temple dan rekan membandingkan frekuensi dan tipe efek samping pada 1.301 pasien yang baru mulai ART. Penelitian ini melibatkan 701 peserta berkulit hitam, 225 Hispanik dan 273 perempuan. Penelitian ini tidak menemukan perbedaan yang bermakna di antara ras atau jenis kelamin sehubungan dengan kematian karena penyebab apapun atau penghentian pengobatan karena toksisitas obat.
Berdasarkan penelitian ini, beberapa “ciri-ciri pada awal” berbeda berdasarkan ras dan jenis kelamin, termasuk usia, risiko penularan HIV, koinfeksi hepatitis B atau C, viral load, diagnosis AIDS, indeks massa tubuh dan tekanan darah tinggi pada awal. Efek samping kardiovaskular adalah 2,64 dan ginjal 3,83 lebih sering di antara peserta berkulit hitam dibandingkan peserta berkulit putih, penelitian menemukan. Temuan ini sesuai dengan peningkatan tingkat penyakit jantung, diabetes dan penyakit ginjal yang ditemukan di antara semua laki-laki dan perempuan berkulit hitam, penelitian mencatat.
Laki-laki berkulit hitam mengalami peristiwa efek samping terkait masalah psikiatris 2,45 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki berkulit putih. Tedaldi dan rekan mengatakan bahwa “kemungkinan efek samping psikiatris grade empat menunjukkan kumpulan faktor yang termasuk hubungan psikososial dan biologis”, misalnya penyakit kejiwaan yang tidak terdiagnosis atau dampak virus pada susunan saraf pusat (SSP).
Penelitian ini menemukan 409 peristiwa efek samping grade empat selama kurang lebih lima tahun masa tindak lanjut, atau rasio 8,9 peristiwa per orang per 100 tahun. Peristiwa grade empat adalah tipe yang paling berat berdasarkan skala satu hingga empat. Penelitian ini menemukan bahwa perempuan adalah 2,34 kali lebih mungkin mengalami anemia grade empat, dibandingkan laki-laki, menurut penelitian. Temuan ini “bukan tidak terduga” karena kebanyakan perempuan belum mati haid dan berkulit hitam, para peneliti menulis. Para peneliti juga mencatat 176 kematian – rasio tiga per orang per 100 tahun. Penelitian ini juga mencatat 523 penghentian ART karena segala jenis toksisitas – rasio 13 per orang per 100 tahun.
Para peneliti mencatat bahwa data yang diterbitkan tentang rasio dan tipe efek samping berdasarkan jenis kelamin dan ras adalah terbatas, menyimpulkan bahwa temuan ini “dapat memberi tahu para dokter yang mengobati HIV tentang masalah khusus yang perlu dipertimbangkan waktu memilih rejimen ARV untuk populasi yang beragam.”
Ringkasan: Specific Adverse Events of Antiretroviral Therapy Vary Depending on Race, Gender, Study Says
Sumber: JAIDS 47(4):441-448

ART yang dipakai terus-menerus mengurangi kepadatan mineral tulang 
Oleh: Derek Thaczuk, aidsmap.com    Tgl. laporan: 27 Oktober 2008
Subpenelitian dari penelitian SMART menemukan tingkat kehilangan kepadatan mineral tulang (bone mineral density/BMD) yang lebih tinggi pada orang yang tetap memakai terapi antiretroviral (ART) dibandingkan orang yang menghentikan pengobatannya secara berkala. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa orang yang tetap memakai pengobatan hampir lima kali lebih sering mengalami patah tulang berat selama masa tindak lanjut dibandingkan orang yang menghentikan pengobatan.
Orang HIV-positif pada umumnya memiliki BMD yang lebih rendah dibandingkan pasangan kontrolnya yang HIV-negatif. Ada bukti yang bertentangan tentang hubungan antara ART dan infeksi HIV jangka panjang sebagai penyebab yang turut menyokong penurunan BMD dan pertanyaan tersebut terus diteliti. Para peneliti penelitian SMART mempresentasikan temuan dari subpenelitian komposisi tubuh dalam sebuah poster pada Interscience Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy (ICAAC) ke-48 di Washington DC, AS.
Penelitian SMART dirancang untuk membandingkan hasil penggunaan ART secara terus-menerus dan yang melibatkan penghentian. Peserta secara acak ditunjuk untuk memakai ART secara terus-menerus atau menghentikan pengobatan apabila viral loadnya tidak terdeteksi atau waktu jumlah CD4-nya di atas 350, mulai kembali memakai pengobatan waktu jumlah CD4-nya turun menjadi kurang lebih 200. Penelitian dihentikan lebih dini ketika ditemukan bahwa pasien yang menghentikan pengobatan lebih mungkin mengalami penyakit terkait HIV dan penyakit yang tidak terkait HIV.
Sejumlah 275 pasien dalam penelitian SMART secara prospektif didaftarkan dalam subpenelitian yang dirancang untuk menilai dampak ART terhadap BMD; data tersedia pada 214 pasien tersebut. Antara Mei 2002 dan Januari 2006, 98 di antara pasien tersebut terus memakai ART dan sisa 116 pasien menghentikan pengobatan sesuai dengan tata-cara penelitian. Kedua kelompok pasien tersebut sangat serupa, dengan usia rata-rata kurang lebih 44 tahun; keragaman ras cukup seimbang dan kurang lebih 20% adalah perempuan. Sejumlah peserta yang bermakna merokok (41% pada kelompok yang menghentikan pengobatan dan 51% pada kelompok yang memakai ART secara terus-menerus). Perokok kian kehilangan BMD sejalan dengan usia semakin tua, beberapa penelitian besar menunjukkan.
Selama empat tahun masa subpenelitian, pasien yang memakai ART secara terus-menerus menerima ART selama 93% masa tindak lanjut, dibandingkan 37% pada kelompok yang menghentikan pengobatan. Sebagian besar masa penghentian pengobatan terjadi pada tahun pertama penelitian.
BMD diperiksa pada awal dan kemudian setiap tahun, pada panggul dan tulang belakang dengan memakai teknik yang disebut dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA). BMD pada tulang belakang juga diperiksa dengan memakai pemetaan CT.
Secara keseluruhan, BMD tulang belakang menurun secara tetap pada kelompok yang memakai ART secara terus-menerus. Pada kelompok yang menghentikan pengobatan, BMD tulang belakang meningkat pada tahun pertama, ketika paling banyak peserta yang menghentikan pengobatan. BMD tulang belakang menurun setelah itu, tetapi tetap lebih tinggi dibandingkan BMD pada kelompok yang memakai ART secara terus-menerus. Walaupun perbedaan tersebut berada di bawah angka yang bermakna secara statistik pada empat titik waktu selanjutnya (karena berkurangnya jumlah data tindak lanjut yang tersedia serta tingkat perbedaan yang dengan sendirinya juga menurun secara bertahap), secara keseluruhan perbedaan longitudinal (dihitung selama beberapa waktu) tetap bermakna.
Dibandingkan dengan pasien yang menghentikan ART-nya, kelompok yang memakai ART secara terus-menerus mengalami 0,9% penurunan BMD pada panggul setiap tahun, 2,9% penurunan BMD pada tulang belakang (sebagaimana diukur dengan memakai pemetaan CT), dan 0,4% penurunan BMD pada tulang belakang (sebagaimana diukur dengan DEXA). Di tulang belakang (sebagaimana diukur dengan DEXA), perbedaan BMD lebih baik pada kelompok yang menghentikan ART, sebanyak 1,7% pada tahun pertama (p = 0,003) dan 1,2% selama masa penelitian (p = 0,05). Di panggul, perbedaannya adalah 1,3% pada tahun pertama (p = 0,002) dan 1,4% selama masa penelitian (p = 0,002).
Walaupun perbedaan di antara hasil yang diamati pada orang yang memakai unsur ARV yang berbeda, penelitian tersebut tidak cukup besar untuk menilai perbedaan tersebut.
Dalam penelitian SMART yang lebih besar, patah tulang grade 4 muncul dengan rasio 0,13 per 100 orang-tahun pada pasien yang memakai ART secara terus-menerus, dibandingkan 0,03 per 100 orang-tahun pada pasien yang menghentikan ART (rasio hazard 4,9, CI: 95%, 1,1 – 22,5, p = 0,04).
Para peneliti menyimpulkan bahwa “penggunaan ART secara terus-menerus turut menyokong kehilangan BMD dan dapat meningkatkan risiko patah tulang” berbeda dengan ART berdenyut. Namun para peneliti menekankan bahwa menghentikan ART tidak disarankan, sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian SMART bahwa penghentian ART meningkatkan risiko pengembangan penyakit HIV dan kematian.
Ringkasan: Continued antiretroviral therapy reduces bone mineral density in SMART study
Sumber: Grund B. et al. Continuous antiretroviral therapy decreases bone mineral density: results from the SMART study. Interscience Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy, abstract H-2312a, Washington, 2008.

ART jangka panjang dapat menyebabkan masalah optalmologi 
Oleh: Scott Baltic, Reuters Health    Tgl. laporan: 17 Oktober 2008
Terapi antiretroviral (ART) jangka panjang untuk infeksi HIV dapat mengakibatkan ptosis dan optalmoplegia luar (kelumpuhan secara bertahap pada otot ekstraokular atau di luar mata). Hal ini berdasarkan serangkaian kasus pada lima pasien yang dilaporkan oleh para peneliti dari Universitas Texas (UT) Southwestern Medical Center, Dallas, AS.
“Ini adalah penelitian pertama yang melaporkan ptosis dan optalmoplegia luar yang dikaitkan dengan penggunaan ART jangka panjang untuk HIV,” Dr. Dolores M. Peterson dari UT Southwestern mengatakan.
Bukti tersebut memberi kesan bahwa ptosis adalah miogenik dan bukan bentuk involusional yang lebih umum, para peneliti melaporkan dalam jurnal Clinical Infectious Diseases edisi 15 September 2008.
Sebagai tambahan, penelitian tersebut menunjukkan bahwa ptosis didahului oleh lipodistrofi berat dengan perubahan morfologi, termasuk lipoatrofi dan penumpukan lemak pada kelima pasien dengan ART yang dipakai mengandung analog timidin atau PI.
Kelima pasien diamati dalam satu praktik pendidikanselama dua tahun. Median usia saat laporan dibuat adalah 50 tahun, dengan median waktu sejak diagnosis infeksi HIV adalah 11,2 tahun dan median masa penggunaan ART adalah 7,8 tahun.
Median waktu sejak mulai lipodistrofi adalah 4,7 tahun, dan sejak mulai ptosis adalah 0,4 tahun. Median masa tindak lanjut untuk ptosis adalah 1,8 tahun.
Dua pasien dilaporkan memiliki ptosis dan optalmoplegia luar. Neuropati sensori perifer juga mengembangkan ptosis pada empat kasus, gangguan konduksi jantung menyertai ptosis pada tiga kasus dan ada satu kasus ensepalopati.
Empat dari lima pasien berhasil menjalani pembedahan untuk memperbaiki ptosis. Dokter bedah mencatat bahwa aponeurosis levator perlu ditingkatkan lebih dari yang biasanya diperlukan pada ptosis yang muncul karena aponeurotic-involutional.
Para peneliti menyarankan bahwa petugas klinis “waspada terhadap kemungkinan efek samping terkait dengan ART dan waspada terhadap kemungkinan komplikasi miopati lain terkait dengan ptosis, termasuk kelemahan proksimal, disfagia, tuli, neuropati dan gangguan konduksi jantung.”
Dr. Peterson mengatakan bahwa data penelitian tersebut tidak memungkinkannya untuk memperkirakan prevalensi dari kedua efek samping atau menentukan subkelompok pasien Odha yang mungkin paling terdampak oleh penggunaan ART jangka panjang.
Ringkasan: Long-Term HIV Therapy Can Cause Ophthalmologic Problems
Sumber: Clin Infect Dis 2008;47:845-852.

ART mengurangi motilitas sperma 
Oleh: Derek Thaczuk, aidsmap.com    Tgl. laporan: 28 Maret 2008
Persentase sperma motil (sperma yang dapat bergerak sendiri secara spontan) berkurang dalam kohort kecil laki-laki yang mulai terapi antiretroviral (ART). Hal ini berdasarkan penelitian Belanda yang diterbitkan dalam jurnal AIDS. Tidak ada parameter mutu air mani lain yang terdampak dan para peneliti tidak menentukan apakah ada dampak terhadap kesuburan laki-laki yang diteliti tersebut.
Karena ada banyak pasangan HIV-positif atau yang salah satunya HIV-positif yang berharap untuk mempunyai anak, masalah kesehatan dan keamanan reproduksi Odha semakin mendapat perhatian. Tetapi, sampai saat ini baru ada dua penelitian yang menilai dampak ART terhadap mutu sperma.
Dalam penelitian ini, para peneliti meneliti delapan parameter yang berbeda pada air mani dari laki-laki HIV-positif dalam kohort prospektif longitudinal, sebelum, sesudah dan selama 48 minggu pertama memakai ART.
Sejumlah 34 peserta dicari dari klinik rawat jalan HIV di Academic Medical Centre di Amsterdam, Belanda antara Februari 2003 dan Oktober 2005. Semuanya belum pernah memakai ART (ART-naif) kecuali dua peserta pernah memakai ART selama kurang dari delapan minggu pada dua dan tiga tahun sebelumnya. Selain memakai ART, kriteria lain untuk tidak dapat dilibatkan adalah bukti ketidaksuburan.
Usia median adalah 41 tahun; peserta didiagnosis HIV-positif selama median 2,7 tahun; jumlah CD4 pada awal adalah 230 dan viral load 5,0 log. Sebelas (sepertiga) adalah perokok.
Ciri-ciri pada awal dicatat pada kunjungan klinik terakhir sebelum memulai ART; kemudian semua peserta memulai berbagai rejimen ART pertama termasuk kombinasi yang berbasis PI dan NNRTI.
Masa tindak lanjut median 48 minggu; sejumlah 146 contoh air mani (dikumpulkan pada awal, 4, 12, 24, 36, dan 48 minggu pasca-ART) dianalisis terhadap parameter mutu air mani berikut ini; volume air mani, kepadatan sperma, persentase bentuk sperma yang normal, jumlah sperma, persentase sperma yang terus bergerak (yaitu, sperma dengan motilitas normal), yang bergerak perlahan, dan sperma yang tidak bergerak, dan jumlah sperma yang aktif (jumlah sperma yang terus bergerak atau disebut TMC).
Tanggapan terhadap ART adalah baik dengan CD4 rata-rata meningkat dari 276 menjadi 428 selama masa tindak lanjut, viral load rata-rata menurun dari 5,0 menjadi 2,1 log, dan 74% dengan viral load <50 48="48" minggu.="minggu." p="p" setelah="setelah">
Persentase rata-rata sperma yang tidak bergerak tinggi pada awal dan seterusnya selama masa tindak lanjut – antara 60% dan 70%. Persentase rata-rata sperma yang bergerak aktif adalah rendah (28%) pada awal dan menurun menjadi 17% setelah 48 minggu (p = 0,02). Menurut WHO kisaran normal persentase sperma yang bergerak aktif adalah di atas 25% dan di bawah 50% untuk sperma yang tidak bergerak).
Semua parameter lain berada dalam kisaran normal WHO dan tetap stabil selama ART. Walaupun persentase sperma yang aktif adalah rendah, TMC yang mutlak tetap di atas normal karena jumlah sperma secara keseluruhan tinggi. Tidak ada hubungan yang bermakna yang terlihat antara parameter mutu air mani dan jumlah CD4, tingkat viral load atau penggunaan analog timidin.
Dalam penelitian terhadap laki-laki HIV-positif yang sebelumnya adalah naif-ART ini, penggunaan ART selama 48 minggu, “berdampak negatif terhadap persentase sperma yang terus bergerak”, walau kriteria mutu air mani lainnya tidak terdampak – termasuk jumlah sperma yang bergerak. Apakah hal ini “berdampak pada kesempatan untuk membuahkan anak atau meningkatkan kebutuhan inseminasi buatan, saat ini belum diketahui.”
Dalam editorial bersama, Pietro Vernazza dari Swiss menyatakan bahwa hasil tersebut “luar biasa,” mencatat bahwa karena rancangan penelitian, “semua faktor pembaur yang mungkin dihilangkan secara hati-hati.”
Vernazza sependapat dengan para peneliti bahwa toksisitas mitokondria terkait nukleosida dapat berdampak buruk terhadap mitokondria sperma. Penelitian yang sebelumnya ia lakukan menemukan hubungan yang lemah antara DNA mitokondria dalam sperma dan pajanan terhadap ddI dan d4T.
Tajuk rencananya menghimbau penelitian lebih lanjut tentang toksisitas mitokondria pada sperma dan dampak relatif dari berbagai obat terhadap pergerakan sperma. Ia berpendapat bahwa apabila hasil penelitian yang ditunjukkan secara jelas ini dikonfirmasikan, pergerakan sperma dapat “menjadi salah satu indikator yang paling sensitif terhadap toksisitas ARV”.
Ringkasan: Antiretroviral therapy reduces sperm motility, Dutch study finds
Sumber:
van Leeuwen E et al. Effects of antiretroviral therapy on semen quality. AIDS 2008;22:637-642.
Vernazza P. HAART improves quality of life: should we care about the quality of spermatozoa? AIDS 2008;22:747-648

Usaha untuk meringankan efek samping HIV 
Oleh: Physicians’ Research Network    Tgl. laporan: 27 Februari 2007
Di Los Angeles, AS pada 26 Februari para peneliti menyampaikan tiga penelitian tentang penyebaran lemak terkait penyakit HIV dan obat dalam Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections (CROI) ke-14. Perubahan lemak dalam tubuh dan tingkat kolesterol dapat berdampak buruk pada kepatuhan pasien HIV/AIDS terhadap pengobatan, serta mutu hidupnya, dan berpotensi meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.
Dalam penelitian terkontrol dengan plasebo yang melibatkan 412 peserta, peserta yang memakai obat percobaan TH9507 mengalami penurunan penumpukkan lemak di perut dan punggung sebanyak 15 persen. Obat tersebut, dibuat oleh Theratechnologies Inc., Kanada, merangsang pertumbuhan hormon untuk membakar kelebihan lemak, dilaporkan Dr. Steven Grinspoon dari Massachusetts General Hospital. Terapi bakal ini juga menurunkan trigliserid dalam darah sebanyak 18 persen.
Penelitian kedua yang didukung oleh Merck & Co. dan melibatkan 48 pasien disampaikan oleh Dr. David Wohl dari Universitas North Carolina-Chapel Hill, AS. Di antara setengah peserta yang menerima obat ezetimibe keluaran Merck sebagai tambahan terapi AIDS untuk menurunkan kolesterol, sebanyak rata-rata 12 persen mengalami penurunan lipoprotein rendah kepadatan (LDL, atau “kolesterol buruk”). Peserta yang memakai plasebo mengalami peningkatan LDL sebanyak tiga persen.
Penelitian ketiga, disampaikan oleh Dr. D. William Cameron dari Universitas Ottawa, AS menemukan bahwa pasien yang tidak pernah diobati yang memakai Kaletra sebagai salah satu kandungan kombinasi obatnya, dan yang kemudian hanya memakai Kaletra, 5 persen mengembangkan penyebaran lemak yang abnormal, terutama hilangnya lemak pada tungkai. Di antara kelompok pembanding yang memakai rejimen yang baku, 34 persen menderita penyebaran lemak yang abnormal.
Ringkasan: Working to Ease HIV Side Effects
Sumber: Los Angeles Times::Jia-Rui Chong; Courtesy of the CDC National Center for HIV, STD, and TB Prevention

Petunjuk baru untuk efek samping obat HIV 
Oleh: Ishani Ganguli, Reuters New Media    Tgl. laporan: 17 Juli 2007
Para peneliti mendapatkan petunjuk baru mengenai mengapa suatu obat AIDS yang dipakai secara luas mempunyai efek samping tertentu seperti penumpukan lemak secara misterius, mereka melaporkan.
Perbandingan antara efek samping protease inhibitor (PI) – komponen penting dari kombinasi obat HIV – dan kondisi genetik yang menyebabkan penuaan dini mungkin dapat menjelaskan penumpukan lemak yang sering menimbulkan keletihan dan efek lain, mereka mengatakan.
PI dapat menyebabkan masalah metabolik misalnya peningkatan kolesterol dalam darah yang kurang sehat, tekanan darah tinggi dan peningkatan risiko diabetes.
Obat ini juga memicu keadaan yang disebut lipodistrofi – penyebaran lemak dalam tubuh secara tidak wajar yang mengakibatkan pipi cekung dan tungkai pasien yang sangat kurus, dan yang disebut “punuk kerbau” tumpukan lemak di belakang leher.
Dokter sudah lama kebingungan dengan bagaimana PI dan obat HIV lain menyebabkan dampak semacam itu, yang timbul pada puluhan ribu pengguna obat di seluruh dunia, dikatakan Dr. Charles Flexner di Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins School, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Dalam usaha untuk menyoroti hal ini, sebuah kelompok dari Universitas California di Los Angeles dan Universitas Purdue di Indiana, AS, memajan sel tikus dan manusia dengan PI, dan menemukan bahwa mereka terutama mengumpulkan gumpalan protein yang disebut prelamin A.
Obat ini memicu hal ini dengan cara menghambat kegiatan protein lain yang disebut – ZMPSTE24 – yang mengubah prelamin A menjadi bentuk yang bermanfaat, mereka melaporkannya dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
Sel dengan tingkat ZMPSTE24 yang lebih rendah pada awal adalah yang terutama terdampak oleh PI.
Christine Hrycyna dari Universitas Purdue, yang melakukan penelitian ini, mengatakan bahwa menghambat protein ini dapat menimbulkan efek samping metabolik PI.
Pasien dengan sindrom penuaan dini, termasuk progeria Hutchinson-Gilford, mempunyai gejala yang menyerupai efek samping ini, dan protein yang sama mengumpal dalam sel tersebut, dikatakan Hrycyna. Tetapi bagaimana hal ini dapat mempengaruhi dampak metabolisme masih belum jelas, dia mengatakan.
“Efek samping ini mungkin bukan karena satu hal yang sederhana saja,” Hrycyna mengatakan.
“Saya berpendapat laporan ini dapat menyediakan pandangan baru mengenai mekanisme yang mungkin terjadi pada beberapa efek samping PI,” ditambahkan Flexner.
Para peneliti juga melakukan uji coba terhadap beberapa obat yang umum dipakai dalam kombinasi obat AIDS, yang dikenal dengan terapi antiretroviral (ART).
Tetapi obat lain tidak menyebabkan akumulasi protein yang sama, walaupun mereka dapat menyebabkan efek samping yang serupa pada orang, para peneliti menulis.
“Barangkali hal tersebut karena kombinasi dari berbagai jenis obat yang berbeda ini,” Hrycyna menambahkan.
Saat ini para peneliti ingin mengetahui apakah teori mereka benar terbukti pada pasien HIV, dan apabila PI jenis tertentu yang banyak menghambat ZMPSTE24 dapat menimbulkan lebih sedikit efek samping pada pasien ini.
Artikel asli: New clue for HIV drug side effects: study
Posted by dewi at 01:52 No comments:

Tuesday, 27 November 2012

HIV Replication Cycle

http://www.niaid.nih.gov/topics/HIVAIDS/Understanding/Biology/Pages/hivReplicationCycle.aspx


Steps in the HIV Replication Cycle

  1. Fusion of the HIV cell to the host cell surface.
  2. HIV RNA, reverse transcriptase, integrase, and other viral proteins enter the host cell.
  3. Viral DNA is formed by reverse transcription.
  4. Viral DNA is transported across the nucleus and integrates into the host DNA.
  5. New viral RNA is used as genomic RNA and to make viral proteins.
  6. New viral RNA and proteins move to cell surface and a new, immature, HIV virus forms.
  7. The virus matures by protease releasing individual HIV proteins.
HIV Replication Cycle
Credit: NIAID
















HIV Replication Cycle Glossary

CD4 – a large glycoprotein that is found on the surface of helper T cells, regulatory T cells, monocytes, and dendritic cells. Its natural function is as a co–receptor that assists the T cell receptor (TCR) to activate its T cell following an interaction with an antigen presenting cell. CD4 is a primary receptor used by HIV–1 to gain entry into host T cells.
Co–receptor (CCR5 or CXCR4) – protein molecules on the surface of lymphocytes or monocytes that bind to the gp120 protein of HIV and facilitate, usually with CD4, entry of viral nucleic acid and proteins into the cell.
DNA (deoxyribonucleic acid) – is a nucleic acid that contains the molecular basis of heredity for all known living organisms and some viruses and is found in the nuclei and mitochondria of eukaryotes. Chemically DNA consists of two polymer strands of units called nucleotides made up of one of four possible bases plus sugar and phosphate groups. The polymers are joined at the bases by hydrogen bonds to form a double helix structure.
Fusion of virus and cell membranes – a merging of cell and virus membranes that permits HIV proteins and nucleic acids to enter the host cell.
Genomic RNA – the nucleic acid that contains all of the hereditary information of a virus, and is found in a mature virion.
gp120 – an HIV glycoprotein having a molecular weight of 120 that protrudes from the outer surface of the virion. This glycoprotein binds to a CD4 receptor on a T cell to facilitate entry of viral nucleic acid and proteins into the cell.
HIV (human immunodeficiency virus) – is a lentivirus and a member of the retrovirus family. HIV infects and destroys helper T cells of the immune system causing a marked reduction in their numbers. Loss of CD4 cells leads to generalized failure of the immune system and susceptibility to life threatening opportunistic infections.
Integrase – An enzyme found in retroviruses including HIV that permits the viral DNA to be integrated into the DNA of the infected cell.
Preintegration complex (PIC) – It is composed of viral RNA and proteins (nucleocapsid, p6, Vpr, integrase, and matrix) as well as some host proteins. It functions to reverse transcribe genomic RNA into double stranded DNA prior to integration into the host genomic DNA.
Protease – an enzyme that hydrolyzes or cuts proteins and is important in the final steps of HIV maturation.
Nucleus – a membrane enclosed cellular organelle of eukaryotes that functions to contain the genomic DNA and to regulate gene expression.
Reverse transcriptase – an enzyme found in HIV that creates double stranded DNA using viral RNA as a template and host tRNA as primers.
RNA (ribonucleic acid) – a nucleic acid that differs from DNA in that it contains ribose and uracil as structural components.
RNA virus – a virus that uses RNA as its genetic material and belongs to either Group III, IV, or V of the Baltimore Classification System of Viruses. HIV belongs to Group III, double stranded RNA viruses.
Virion – a single and complete extracellular infective form of a virus that consists of an RNA or DNA core with a protein coat or "envelope".
Posted by dewi at 00:59 No comments:

Friday, 2 November 2012

L.A. porn stars have more STDs than Nevada prostitutes

http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8703825112267969896#editor/src=dashboard
October 31, 2012 |  6:28 pm

Condoms


Rates of gonorrhea and chlamydia are significantly higher among adult film stars in Los Angeles County compared to legal prostitutes in Nevada, according to a report published this week. On Nov. 6, voters will consider a measure that would require porn actors to wear condoms.
A study of 168 adult film performers in Los Angeles County found that 28%, or 47 performers, tested positive for either gonorrhea orchlamydia or both diseases. The report was written by six public health experts, whose affiliations include the Los Angeles County Department of Public Health, the Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health and UCLA.
"Compared with the brothel workers of Nevada, another legal sex worker population in the United States, [gonorrhea] and [chlamydia] prevalence in this study is significantly higher," said the report, published in the journal Sexually Transmitted Diseases on Tuesday. The study ran from mid-May to mid-September 2010.
Sexually transmitted infection rates among legal prostitutes are negligible, the report said, because brothel workers in Nevada are required by state law to use condoms and are tested weekly for disease. Since those rules went into effect in Nevada, there have been no cases of HIV infection, and their infection rates were negligible, the report said.
In contrast, the report said, there have been a number of HIV infections among porn stars in Los Angeles County since the 1990s. The report said that there was "very low" consistent condom use among the study participants, either on the set or in their personal lives.
"The results of this study suggest that many performers in the [adult film industry] are not safe on the job from acquiring and transmitting [sexually transmitted infections] at multiple anatomical sites," the report concluded. "Repeated and chronic infection with [sexually transmitted infections] can lead to infertility, chronic pelvic pain and ectopic pregnancies, and can facilitate HIV infection."
The  authors also said that many adult film performers may not be aware of their infection. The industry standard calls for regular urine testing, but does not test for infections in the rectum or the mouth and throat.
"The report clearly shows that current testing practices miss two-thirds of active gonorrhea and chlamydia infections," said Dr. Jeffrey D. Klausner, former director of STD prevention and control services in San Francisco who is now a UCLA professor of medicine. Klausner was not involved in the study.
"What that says is that the current testing is grossly inadequate and testing plus condoms is a reasonable strategy to reduce the spread of sexually transmitted infections," Klausner said.
The study was published a week before voters will go to the polls to consider Measure B, which would require adult film performers to wear condoms during filming. The initiative is sponsored by the L.A.-based AIDS Healthcare Foundation, which says that porn performers need to be protected from HIV and sexually transmitted disease, and the issue is a matter of protecting public health.
The adult film industry has opposed the measure, saying consumers don't want to buy porn that features condoms. They say that regular testing of adult film performers offers a safe environment for them, although they have acknowledged the risk of disease infection. Opponents of Measure B have argued that voters do not want the creation of an unwanted, ineffective county bureaucracy and said the industry can police itself.
Christian Mann, general manager of Evil Angel Video, said he did not think the study justifies Measure B. He said he believed performers would continue to not use condoms on set, and that the law, if passed, could jeopardize the stability of the industry-led protocol of regular testing for STDs. Measure B "does zero to ameliorate the spread of gonorrhea or chlamydia among this population," Mann said.
Posted by dewi at 09:18 No comments:
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)

About Me

dewi
View my complete profile

Blog Archive

  • ►  2020 (1)
    • ►  July (1)
  • ►  2015 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  July (2)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
  • ►  2014 (9)
    • ►  September (3)
    • ►  August (1)
    • ►  May (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2013 (22)
    • ►  November (4)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  July (1)
    • ►  May (5)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ▼  2012 (21)
    • ►  December (5)
    • ▼  November (7)
      • WORLD AIDS DAY 1 DECEMBER 2012
      • Hari AIDS Sedunia 2012
      • SURAT dari ODHA untuk MRAN 2012
      • ODHA harus mendapatkan obat ARV yang Aman.
      • ARV, Efek Samping Dan Penanganannya
      • HIV Replication Cycle
      • L.A. porn stars have more STDs than Nevada prostit...
    • ►  September (1)
    • ►  August (4)
    • ►  July (4)
  • ►  2011 (4)
    • ►  May (4)
  • ►  2009 (1)
    • ►  December (1)
  • ►  2008 (8)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (2)
  • ►  2007 (45)
    • ►  December (4)
    • ►  November (8)
    • ►  October (4)
    • ►  July (5)
    • ►  June (24)