Friday 3 August 2012

Menuju Titik Terang Atasi Pandemi AIDS

http://health.kompas.com/read/2012/08/01/07543282/Menuju.Titik.Terang.Atasi.Pandemi.AIDS
Rabu, 1 Agustus 2012 | 07:54 WIB
Oleh AGNES ARISTIARINI




Konferensi AIDS XIX baru saja berakhir di Washington DC, Amerika Serikat. Meski gaungnya kurang disebarluaskan media massa di Indonesia, inilah konferensi paling optimistis sejak konferensi AIDS pertama kali diselenggarakan tahun 1985 di Atlanta, AS.

Dihadiri lebih dari 21.000 anggota delegasi lebih dari 195 negara, optimisme memang mewarnai dari awal sampai akhir konferensi. Di sini muncul titik terang untuk mengatasi HIV/AIDS, sejak pertama kali kasus ditemukan 30 tahun lalu.

Pengobatan menggunakan kombinasi obat anti-HIV, yang disebut antiretroviral (ARV), terbukti tidak hanya menurunkan angka kesakitan dan kematian, tetapi juga membuat banyak orang yang terinfeksi HIV tetap sehat, kualitas hidup membaik, dan terutama menurunkan penularan secara signifikan.

”Pengobatan dini mampu menekan penularan hingga 96 persen. Di Indonesia, mereka yang terinfeksi HIV dan meminum ARV, yang disediakan gratis oleh pemerintah, tetap produktif hingga 10 tahun. Bahkan, ada yang sudah 18 tahun,” kata Zubairi Djoerban, guru besar penyakit dalam, hematologi, dan onkologi medis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga Ketua Masyarakat Peduli AIDS Indonesia.

Bersama atasi AIDS

Jutaan orang memang telah diselamatkan sehingga harapan akan hadirnya generasi baru yang bebas HIV bisa terwujud. Tidaklah mengherankan bila Badan PBB untuk Masalah AIDS (UNAIDS) pada akhir konferensi yang berlangsung 22-27 Juli itu juga percaya diri mengeluarkan buku yang berjudul Together We Will End AIDS.

Buku tersebut melaporkan, 8 juta orang dapat mengakses pengobatan dengan ARV, terutama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Jumlah ini naik dari 1,4 juta orang pada tahun 2010.

Di AS, angka kematian turun hingga dua pertiga setiap tahun. Bahkan, menurut Dr Mohammad Akhter, Direktur Departemen Kesehatan DC, AS, sejak 2009 tidak ada satu bayi pun yang tertular HIV di Distrik Columbia. Demikian pula halnya di Washington DC, angka infeksi HIV pada mereka yang menyalahgunakan obat dengan jarum suntik menurun hingga 70 persen sejak 2007.

Buku yang sama juga mencatat kemajuan besar dalam upaya menurunkan penularan HIV pada anak-anak. Sejak 2009, infeksi baru pada anak-anak menurun hingga 24 persen sehingga pada 2011 ”hanya” terjadi 330.000 kasus infeksi baru pada anak-anak di seluruh dunia. Jumlah ini hampir setengah dari jumlah infeksi baru pada anak-anak saat pandemi AIDS mencapai puncaknya tahun 2003, yaitu 570.000 kasus.

Menurut UNAIDS, berkat kemajuan pengobatan serta sosialisasi hidup sehat dan bertanggung jawab, orang yang hidup dengan HIV/AIDS pada 2011 ”tinggal” 34,2 juta. Jumlah ini akan jauh lebih besar bila tidak terjadi penurunan penularan hampir 20 persen selama 10 tahun terakhir. Ramalan para ahli sembilan tahun lalu bahwa gelombang kedua wabah AIDS akan menyapu kawasan Asia Pasifik juga tidak terjadi.

Karena itu, masa depan yang lebih baik sudah di depan mata. ”Saya percaya bahwa bersama kita bisa mengakhiri pandemi AIDS. Pertanyaannya kemudian adalah kapan?” kata Michel Sidibe, Direktur Eksekutif UNAIDS.

Bagaimana dengan Indonesia?

Menurun signifikan

Menurut Zubairi, yang juga hadir di Washington DC, kondisi di Indonesia seiring dengan terangnya kondisi dunia. Penelitian di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat juga menunjukkan keberhasilan pengobatan ARV: 77,2 persen orang dengan HIV/AIDS yang minum ARV menunjukkan peningkatan CD4 hingga di atas 200. CD4 adalah penanda di permukaan sel darah putih manusia dan menjadi indikator fungsi kekebalan tubuh.

Zubairi juga menyebutkan bahwa pada 88,7 persen orang dengan HIV/AIDS, kadar virus HIV dalam darahnya tidak terdeteksi lagi. ”Sedangkan yang memiliki kualitas hidup dan kondisi psikologis baik masing-masing lebih dari 70 persen,” katanya.

Jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan 300.000 orang. Namun, masih kurang dari 30.000 orang yang mendapatkan pengobatan ARV. ”Dengan demikian, masih ada jurang yang amat besar antara estimasi dan kasus yang teridentifikasi,” kata Zubairi menambahkan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah segera melakukan tes HIV/AIDS pada 5 juta-20 juta rakyat Indonesia. Hal ini menjadi amat penting karena tes HIV berkorelasi signifikan dengan penurunan angka penularan.

Botswana, misalnya, yang sejak delapan tahun lalu memberlakukan kebijakan tes HIV rutin pada 1,5 juta penduduknya, berhasil menurunkan angka kematian dan penularan secara drastis. Afrika Selatan pada 2011 juga melakukan tes pada 15 juta penduduknya (dari total 50 juta) dan China pada 80 juta penduduknya.

Dampak tes

Hasil tes di Indonesia akan sangat membantu mengurangi penularan secara seksual, penularan lewat jarum suntik, dan terutama membuka akses terhadap pengobatan ARV. Hal ini didukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang dengan HIV/AIDS yang minum ARV nyaris tidak menularkan HIV dan mencegah infeksi baru hingga 96 persen. Dengan demikian, anak-anak sebagai generasi masa depan bisa diselamatkan.

Apa boleh buat, untuk memperluas cakupan tes HIV ini diperlukan kemauan politik, kepemimpinan, dan terutama konsistensi dalam upaya eradikasi HIV/AIDS. Indonesia juga perlu lebih berkomitmen lagi untuk melakukan pendekatan pencegahan melalui kesetaraan jender dan pemberdayaan komunitas.

”Kehadiran negara diperlukan agar pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual diberikan kepada semua orang sehingga terhindar dari risiko penularan dan kematian,” kata Zubairi.

Penanganan HIV dan AIDS di Indonesia Tertinggal

http://health.kompas.com/read/2012/08/04/09395711/Penanganan.HIV.dan.AIDS.di.Indonesia.Tertinggal
Sabtu, 4 Agustus 2012 | 09:39 WIB




Jakarta, Kompas - Deteksi dini dan pemberian obat antiretroviral terbukti mampu menyembuhkan pengidap HIV/AIDS. Temuan di sejumlah negara ini memberi harapan diakhirinya pandemi HIV/AIDS.

Ketua Unit Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo Prof Zubairi Djoerban di Jakarta, Jumat (3/8), saat menyampaikan hasil Konferensi AIDS Internasional Ke-19/2012, mengatakan, penelitian menunjukkan tiga pengidap HIV disertai leukimia akut dan gangguan limfoma bisa sembuh total. Virusnya tak terdeteksi lagi.

Adapun 14 pengidap HIV lain sembuh fungsional, yaitu virusnya tetap ada, tetapi tidak berkembang. Mereka langsung minum antiretroviral (ARV) selama tiga tahun begitu didiagnosis positif HIV. Kini, meski tujuh tahun tanpa obat, mereka tetap sehat.

”Di Indonesia, penggunaan ARV selama tiga tahun sulit menyembuhkan karena infeksi HIV diketahui dalam fase lanjut,” katanya.

Untuk mencegah penularan HIV dari ibu kepada bayi, ibu hamil dengan HIV wajib minum ARV. Hasilnya, tak ada bayi lahir tertular HIV dari ibunya di Distrik Columbia, AS, sejak 2009.

Penggunaan ARV terbukti mampu menekan infeksi baru HIV. Sejumlah negara, seperti Malaysia dan Thailand, mewajibkan semua ibu hamil mengikuti tes HIV. Jika terdeteksi, mereka langsung diberi ARV.

”Tes HIV bagi semua ibu hamil sulit dilakukan di Indonesia karena pengidap HIV masih didiskriminasi. Padahal, HIV bisa menular kepada siapa saja dan di mana saja,” kata dokter dari RS Kramat 128 Jakarta, Dyah Agustina Waluyo, yang juga hadir dalam konferensi.

Kondisi HIV di Indonesia berkebalikan dengan kondisi global. Saat pertumbuhan kasus baru HIV di sejumlah negara menurun, di Indonesia malah naik.

Laporan situasi perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sampai Maret 2012 memperkirakan, 6,58 juta orang di Indonesia rawan tertular HIV pada 2009. Jumlah tertinggi berasal dari pria pelanggan pekerja seks (3,17 juta orang) dan istri mereka (1,94 juta orang). Namun, yang terdata hingga Maret 2012 baru 82.870 kasus HIV dan 30.430 kasus AIDS. Dari jumlah itu, hanya 25.817 orang yang dapat ARV.

Hal ini menunjukkan tingginya kesenjangan jumlah penduduk yang rentan tertular HIV dan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS serta mendapat terapi ARV. Deteksi dini sulit dilakukan karena tingginya diskriminasi terhadap pengidap HIV.

Dyah menambahkan, penanganan HIV di Indonesia belum terintegrasi. Di negara lain, tempat tes HIV terintegrasi dengan pusat layanan kesehatan sehingga pengidap bisa langsung ditangani. (MZW)

HIV/AIDS Kini Bisa Disembuhkan Total

http://kesehatan.liputan6.com/read/426993/hiv-aids-kini-bisa-disembuhkan-total
Julianus Kriswantoro




Liputan6.com, Jakarta: Penyakit HIV/AIDS kini bisa disembuhkan. Hal ini terungkap dari hasil Konferensi internasional AIDS yang digelar Juli lalu di Washington DC, Amerika Serikat.

Konferensi Internasional AIDS ke-29 itu diselenggarakan pada 22- 27 Juli dan diikuti 195 negara dengan jumlah peserta lebih dari 121 ribu orang. Dari konferensi tersebut terungkap hingga saat ini sudah ada bukti bahwa HIV/AIDS sudah bisa disembuhkan secara total.

Ada 3 kasus yang terjadi, salah satunya pada seorang pasien dengan leukemia akut dan terjangkit HIV. Sewaktu leukemianya diobati dengan cangkok sel induk maka leukemianya sembuh dan virus HIV-nya hilang total. Juga ada dua kasus lain di mana pasien terkena kanker dan juga terjangkit virus HIV. Pada kedua orang tersebut dilakukan cangkok sumsum tulang dan hingga saat ini keduanya sehat serta tanpa ada virus HIV lagi, Jumat (3/8).

Selain itu, ada lagi 12 ODHA (Orang dengan HIV AIDS yang telah dinyatakan sembuh secara fungsional. 10 Tahun lalu saat terdeteksi infeksi HIV/AIDS, langsung diobati dengan obat antiretrovira (ART) selama 3 tahun tanpa menunggu kekebalan tubuh turun. Setelah minum ART selama 3 tahun lalu berhenti hingga hari ini yaitu 7 tahun kemudian kondisinya sehat walafiat.

Hal ini menunjukkan bahwa makin banyak harapan untuk menghentikan wabah AIDS. Prof dr Zubairi Djoerban, Manajer Unit Pelayanan Terpadu HIV RSCM, mengatakan, di RSCM sendiri tiap bulannya ada sekitar 2 ribuan pasien yang berobat HIV/AIDS terdiri dari pria dan wanita dewasa, juga bayi dan anak.

Permasalahan yang masih tersisa adalah bagaimana mengobati semua pasien yang terjangkit virus HIV/AIDS agar penularan virus ini terhenti. Karena di banyak negara baru sebagian kecil kasus yang diobati dan ditangani dengan baik.(MEL)

Wednesday 1 August 2012

Meet Fajar Jasmin: Activist, Father and Living With HIV

http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/meet-fajar-jasmin-activist-father-and-living-with-hiv/533793
Natasha Gan | August 01, 2012


Fajar Jasmin and his wife Leonnie Merinsca are keen for people to know the truth about HIV in order to destigmatize the disease. (JG Photo/Natasha Gan)


Every time Fajar Jasmin gazed down and cradled his head with his index fingers and thumbs it seemed like he was going to tear up. Maybe his HIV status, and talking about it, was still something too personal. 

But every time his shaved head lifted up, his eyes were clear and stern, at times glancing toward the corner where his wife, Leonnie Merinsca, was sitting. 

“This is Latin for ‘He who perseveres will conquer,’ ” Fajar said, tracing the “ Vincit qui patitur ” tattoo on his left forearm. Besides his striking boney features, the three words in bold stood out in contrast with his fair skin and the pastel-colored shirt he was wearing. 

Despite looking like a monk wearing blue denim in broad daylight, Fajar is commonly known as “the guy with HIV.” 

“I was angry for a while,” he said with utter calmness. “Why did this happen?” 

Again, 35-year-old Fajar looked down, as if to search for words on the bright green straw mat covering the white floor tiles. The aroma of cake batters and fresh-from-the-oven fluffy cakes were a welcome distraction from the momentary pauses. 

“[My wife and I] didn’t want to dwell in the thought and be carried away with our emotions,” he said, referring back to January 2008 when he found out he had HIV after a prolonged bout of diarrhea. “We tried to think practically.” 

During the Jakarta Globe’s visit, Leonnie made several trips to the kitchen to check on her gluten, sugar and wheat-free treats while Fajar stayed seated with his legs crossed, taking the time to check his BlackBerry every now and then. 

Having lived with the disease for almost five years now, Fajar admitted he has become more grateful for life and has tried to make it more meaningful, but he was quick to add that not much has changed. 

“Well, I tell my kids ‘Daddy is sick, Daddy needs to take his medicines,’ ” the father of three said. “But we are hoping that day by day they can see how people with this conditions can live … as usual.” 

Perhaps Leonnie played a big role in this, showing Fajar the true meaning of a wife’s loyalty. It was nothing short of a miracle that she tested negative for HIV. In addition to being a supportive wife, she also remains a full-time mother who makes sure everyone has clean toothbrushes, that Band-Aids are put on wounds right away and that her sick husband takes his pills. 

“First of all, let’s get down to the facts. HIV is no longer a death sentence,” Fajar said. 

“It’s a manageable chronic disease, probably like diabetes. You can live with it.” 

It isn’t much of a physical death sentence but it might be social death when it comes to living openly with HIV. Due to the stigma of the disease, which some people associate with irresponsible behavior, HIV patients are left vulnerable to discrimination. 

“Today you tell people you have HIV, the next day you can’t seem to reach them,” he said. “Of course, there have been cases like that.” 

Having lost his previous job, Fajar is now an editor at environmental program REDD+. “No, it’s not easy,” he said. “But it’s the right thing to do.” 

Even at times like this, Fajar still has the passion to live out his activist alter ego. This comes to light when he shows his concern about the misconceptions surrounding HIV. There is a social gap yet to be bridged, he said. 

One of these gaps came about when Fajar and Leonnie’s daughter was denied entrance to a private elementary school near their home in Kelapa Gading, North Jakarta, because of Fajar’s HIV status. Ironically, the controversy happened last year on Dec. 1 — World AIDS Day — attracting the attention of the National AIDS Prevention Commission (KPAN). The school later apologized, and let Fajar’s and Leonnie’s daughter enrol. 

Nevertheless, that didn’t discourage the couple from disclosing their medical status. Instead, they accepted the facts and started breaking down the walls enclosing the minds of HIV-phobic friends and families. 

“There is that initial reluctance and rejection, but once you get through that phase by communicating, they learn about the facts and myths of HIV,” the Surabaya-born Fajar said. “Then they’ll accept us with open arms.” 

Luckily, the couple’s extended families were just as open-minded as the duo was. Of course, they were devastated that a loved one was infected with an incurable disease, but shock overrode the grief. 

“What’s more interesting [was] their reaction when they found out that I’ve decided to be open about my HIV status,” Fajar said, slightly smiling in reminiscence. 

According to the Ministry of Health, since 2005 more than 82,000 people in Indonesia have tested positive for HIV. Most are unlikely to have been readily accepted in spite of their HIV status, which is why it’s understandable that being open remains a personal choice. 

“At least you can be knowledge ambassadors since it’s your responsibility as an infected person to know about the disease. You don’t have to reveal you’re HIV positive to do this,” Leonnie said. “It’s two different things.” 

By informally educating people around you about HIV, you’re helping to slow down the widespread and concerning fallacies. 

No, you can’t contract HIV by shaking hands with an infected person, getting insect bites or swimming in the same pool. 

“I made a lot of foolish decisions when I was young,” was all that Fajar would say about how he contracted the virus. 

Now that he has three young children, one of them autistic, the reason why he strives to conquer this illness is quite obvious. 

“We have to live long and prosper,” he said with a grin, looking over at his smiling wife who made a Vulcan gesture. 

“I want to see [my children] grow up, I want to see them graduate, I want to see my grandchildren,” Fajar added. “But before that I want to dance with my daughter on her wedding day.”